RAMALLAH, (Panjimas.com) – Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah pada hari Selasa (12/12) mendesak Dewan Keamanan PBB untuk memberi tekanan politik pada Israel untuk mengakhiri aksi pendudukannya selama puluhan tahun di wilayah Palestina.
“Kami mendesak PBB dan Dewan Keamanan untuk memikul tanggung jawab mereka dan untuk menekan Israel agar mengakhiri aksi pendudukannya atas tanah rakyat Palestina, termasuk Yerusalem Timur,” jelas Rami Hamdallah dalam sebuah konferensi pers menjelang pertemuan Kabinet pekanan di Ramallah.
Perdana Menteri Palestina Hamdallah mengecam keras keputusan Presiden AS Donald Trump pekan lalu yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Rami Hamdallah menyebut tindakan AS “tidak adil” dan merupakan “sebuah pelanggaran terhadap legitimasi internasional dan resolusi Dewan Keamanan PBB dan juga sebuah serangan terhadap rakyat kami”.
“Kami tidak akan pernah meninggalkan Yerusalem atau berkompromi dengan identitas Arab dan situs sucinya,” pungkasnya,
PM Rami Hamdallah kemudian juga menyerukan Liga Arab dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk membela kota suci Yerusalem.
Hamdallah juga menyerukan negara-negara di seluruh dunia untuk mengakui negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.
Ketegangan meningkat di Tepi Barat dan Gaza menyusul keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada hari Rabu (06/12) untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Ribuan warga Palestina mengadakan aksi demonstrasi di Tepi Barat di tengah bentrokan dengan pasukan Israel, yang menyebabkan setidaknya 2 pengunjuk rasa dibunuh pasukan Israel sementara ratusan korban lainnya terluka.
Hamas Jumat (08/12) lalu mengecam keras tindakan brutal tentara Israel yang menargetkan para pengunjuk rasa Palestina di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Hazem Qassim, juru bicara organisasi perlawanan Palestina yang berbasis di Gaza itu, menyebut tindakan tentara Israel terhadap para peserta aksi demonstrasi damai tersebut sebagai “kejahatan yang dilakukan di bawah perlindungan AS”.
“Kami menyerukan rakyat Palestina untuk turun ke jalan di setiap kota tempat mereka tinggal, untuk meluncurkan Intifadah baru dengan maksud untuk mempertahankan Yerusalem,” pungkas Qassim dalam pernyataannya, dikutip dari AA.
Meskipun mendapat perlawanan dunia internasional, Presiden Amerika Serikat Donald Trump Rabu (06/12) di ruang resepsi diplomatik Gedung Putih tetap bersikukh mengumumkan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Menurut Trump, Departemen Luar Negeri A.S. telah memulai persiapan untuk memindahkan Kedutaan Israel Washington dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Pergeseran dramatis dalam kebijakan A.S. ini segera memicu gelombang aksi demonstrasi “Day of Rage” di wilayah Palestina, bahkan di berbagai negara seperti Turki, Mesir, Yordania, Aljazair, Irak, Indonesia dan di negara-negara Muslim lainnya.
Pengumuman Trump tersebut juga memicu kecaman keras dari seluruh dunia, termasuk Uni-Afrika, Uni Eropa, Negera Amerika Latin dan PBB.
Selama masa kampanye Pilpres AS lalu, Donald Trump berjanji untuk memindahkan Kedutaan A.S. dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan sejak Rabu (06/12) janji itu diwujudkan Trump melalui pernyataanya di ruang Resepsi Diplomatik Gedung Putih.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.[IZ]