ACCRA, (Panjimas.com) – Pemerintah Ghana baru-baru ini menyatakan bahwa pernyataan Ketua Parlemen Aaron Mike Oquaye mengenai isu kontroversial Yerusalem sebagai ibukota Israel, merupakan pernyataan pribadi bukan kelembagaan.
Ketua Parlemen Oquaye membuat marah pemerintahan Ghana saat dirinya mengatakan kepada saluran i24News Israel bahwa “apapun yang diinginkan Israel, kami di Ghana akan melakukannya”.
Kementerian Luar Negeri Ghana segera mengeluarkan pernyataan yang menekankan bahwa ucapan Oquaye adalah “pandangan pribadinya yang mana (dia) boleh menyampaikan itu”.
“Ghana selalu mendukung posisi bahwa konflik Palestina-Israel harus diselesaikan secara damai antara berbagai kubu itu sendiri dan semua pemangku kepentingan yang terlibat,” kata Kemlu Ghana, dikutip dari AA.
“Penentuan status akhir [Yerusalem] tidak boleh diprasangkakan oleh pihak manapun”, pungkas Kemlu Ghana.
Ghana telah sangat berperan dalam pembentukan Uni Afrika dan termasuk di antara banyak negara yang menuntut penyelesaian konflik Palestina-Israel secara adil dan komprehensif.
Pemerintah Ghana menyerukan “semua orang yang berpikiran baik untuk mengetahui sensitivitas dari masalah ini”.
Di Ghana, Ketua Parlemen adalah posisi yang ditunjuk oleh presiden dan merupakan orang ketiga yang paling penting dan berkuasa di negara ini.
Meskipun mendapatkan perlawanan dan tentangan regional maupun internasional, Presiden Amerika Serikat Donald Trump Rabu (06/12) di ruang resepsi diplomatik Gedung Putih tetap bersikukuh mengumumkan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.
Pergeseran dramatis dalam kebijakan A.S. ini segera memicu gelombang aksi demonstrasi “Day of Rage” di wilayah Palestina, bahkan di berbagai negara seperti Turki, Mesir, Yordania, Aljazair, Irak, Indonesia dan di negara-negara Muslim lainnya.
Pengumuman Trump tersebut juga memicu kecaman keras dari seluruh dunia, termasuk Uni-Afrika, Uni Eropa, Negera Amerika Latin dan PBB.
Selama masa kampanye Pilpres AS lalu, Donald Trump berjanji untuk memindahkan Kedutaan A.S. dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan sejak Rabu (06/12) janji itu diwujudkan Trump melalui pernyataannya di ruang Resepsi Diplomatik Gedung Putih.
Yerusalem hingga kini tetap menjadi inti konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade, sementara rakyat Palestina tetap memperjuangkan Yerusalem Timur yang diduduki Israel sebagai ibu kota negaranya.
Pada bulan April, Rusia mengumumkan pengakuannya atas Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel, yang mengungkapkan harapan bahwa separuh bagian timur kota Yerusalem pada akhirnya dapat berfungsi sebagai ibukota Palestina
Khususnya, dalam pengumumannya pekan lalu, Trump menekankan bahwa pemerintahannya belum mengambil posisi mengenai “batas-batas spesifik kedaulatan Israel di Yerusalem”. [IZ]