ARU, (Panjimas.com) – Jumlah pengungsi internal di Republik Demokratik Kongo (DRC) dilaporkan meningkat menjadi 4,1 juta jiwa sejak tahun lalu yang mencapai angka 2 juta jiwa.
Para pengungsi Kongo itu dilaporkan juga mengalami krisis kekurangan makanan dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya.
Badan Migrasi PBB, Organisasi Internasional untuk Migrasi, International Organization for Migration (IOM), dalam pernyataanya menegaskan bahwa orang-orang yang kehilangan tempat tinggal di DRC (Republik Demokratik Kongo) sangat membutuhkan bantuan makanan namun IOM juga mengaku kekurangan dana bantuan untuk memberikan perawatan pada mereka.
Kebutuhan dana IOM mencapai angka $75 juta dollar AS.
DRC (Republik Demokratik Kongo) adalah negara Afrika dengan pemindahan penduduknya yang tertinggi. Wilayah DRC yang terkena dampak paling parah adalah Provinsi Tanganyika Timur dan Wilayah Kasai.
“Dengan begitu banyak krisis kemanusiaan di seluruh dunia, situasi di DRC berisiko diabaikan, sementara situasi saat ini berkembang menjadi keadaan darurat terbesar di 2018,” jelas Mohammed Abdiker, Direktur Divisi Operasi dan Darurat IOM.
“Pendanaan yang kuat dan tindakan bersama sangat dibutuhkan, untuk menghentikan penderitaan yang luar biasa atas peningkatan kemampuan masyarakat untuk meresponsnya”, pungkas Direktur Operasi Darurat IOM itu.
Ratusan Anak-Anak di Kongo Sekarat!
Organisasi Dokter Tanpa Batas, Doctors Without Borders (MSF) bersama dengan pemimpin setempat akhir Mei lalu menyatakan bahwa ratusan anak-anak komunitas pengungsi di Republik Demokratik Kongo Timur, dalam kondisi sekarat, karena kekurangan gizi.
Doctors Without Borders (MSF) dalam sebuah pernyataan menegaskan bahwa para pengungsi yang tinggal di permukiman di sekitar kota Kalemie di Provinsi Tanganyika, memiliki akses terbatas terhadap perawatan kesehatan dan Mereka kekurangan pasokan makanan, air, dan tinggal dalam tempat penampungan tak layak, hingga menyebabkan ratusan anak-anak sekarat, dan hampir menemui ajalnya.
Ribuan orang mengungsi 10 bulan yang lalu karena bentrokan antar-komunal di provinsi tersebut, yangt menyebabkan puluhan kematian. Sudah menjadi suatu hal yang biasa di negara-negara Afrika Tengah ketiika milisi atau kelompok kesukuan untuk menyerang desa-desa suku lainnya dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah.
“Anak-anak sekarat karena kekurangan gizi dan penyakit seperti diare dan campak,” kata Manajer Program Darurat Doctors Without Borders (MSF), Hugues Robert.
Dia menambahkan bahwa orang-orang yang kehilangan tempat tinggal tetap dalam kondisi keputus-asaan dan sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan.
MSF mengatakan bahwa selama kampanye vaksinasi campak, MSF mengevaluasi kekurangan gizi pada 5.700 anak di bawah 5 tahun di 10 permukiman ini, dan menemukan tingkat kekurangan gizi di atas ambang darurat: 16 persen kekurangan gizi, sementara 4,5 persen dalam kondisi sangat parah.
Seorang pemimpin lokal di Kalemie, Muasa Lame, mengatakan kepada Anadolu bahwa dalam 10 bulan terakhir lebih dari 200 anak-anak telah meninggal dunia karena kekurangan gizi dan penyakit-penyakut lainnya.
”Orang-orang terlantar ini tidak bisa memberi makan anak-anak mereka dengan baik karena mereka kekurangan makanan. Mereka juga tidak punya uang untuk membayar perawatan anak-anak. Itu menyebabkan ratusan anak-anak sekarat (hampir mati).”
Lebih dari 500.000 orang terpaksa mengungsi antara periode Juli 2016 dan Maret 2017 karena kekerasan, demikian menurut perkiraan PBB. Semantara itu, lebih dari 44.000 orang kini tinggal di permukiman di sekitar kota Kalémie.
MSF telah meminta peningkatan respon kemanusiaan di wilayah Kalémie dan Kansimba, terutama dari Badan-Badan PBB dan lembaga pemerintah.
850.000 Anak-Anak Kongo Terlantar
Sebanyak 850.000 anak-anak terpaksa mengungsi di wilayah Great Kasai, Republik Demokratik Kongo (DRC) akibat pertempuran dan konflik yang melanda negara tersebut, menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF) Jumat (28/07), Juli lalu
Situasi ini membuat wilayah Great Kasai Kongo, menjadi salah satu peristiwa krisis pengungsian terbesar di dunia untuk anak-anak, kata UNICEF dalam sebuah pernyataan.
UNICEF menambahkan bahwa anak-anak menanggung beban kekerasan yang sangat ekstrem.
Lebih dari satu juta orang juga telah dipaksa meninggalkan rumah-rumah mereka akibat gelombang konflik kekerasan di wilayah tersebut, terang UNICEF.
”Kehidupan ratusan ribu anak-anak dan keluarga mereka di Great Kasai telah berubah drastis akibat kekerasan yang brutal ini,” tutur Tajudeen Oyewale, perwakilan UNICEF di Republik Demokratik Kongo (DRC) dalam sebuah pernyataan.
“Sebanyak 1,4 juta orang, termasuk 850.000 anak-anak, telah mengungsi, dengan setidaknya 60.000 orang terpaksa hidup terkatung-katung pada bulan Juni ini saja,” kata Oyewale, dikutip dari AA.
UNICEF dan mitranya telah menerapkan program bantuan tunai untuk penduduk Kongo terlantar yang disediakan bagi tiap rumah tangga sejumlah $ 100 dollar dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Wilayah Kasai terdampak konflik yang berkecamuk sejak Agustus 2016 ketika pemimpin sebuah kelompok milisi bernama Kamuina Nsapu dibunuh oleh polisi.
Sejak saat itu kelompok milisi telah menyerang tentara, polisi dan warga sipil yang menyebabkan ratusan kematian.
Gereja Katolik di Republik Demokratik Kongo (DRC) mengatakan sebelumnya bahwa lebih dari 3.000 orang tewas dan lebih dari 1,3 juta penduduk mengungsi selama bentrokan di Kasai.[IZ]