JAKARTA (Panjimas.com) – Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam (DPP FPI) menyikapi kebijakan Pemerintah Amerika Serikat yang segera melakukan pemindahan kantor kedutaan besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Yerusalem. Perintah Presiden Amerika Serikat Donald Trump itu diumumkan pada Senin, 6 Desember 2017.
Dalam siaran pers yang diterima Panjimas, Ketua Umum FPI KH. Ahmad Shabri Lubis, S.Pd.I dan Sekretaris Umum FPI, H. Munarman, SH, menilai sikap dan kebijakan Pemerintah Amerika Serikat tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran atas Hukum Internasional.
“Secara Hukum Internasional Yerusalem adalah wilayah yang harusnya berada di bawah kewenangan internasional, dan diberikan status hukum dan politik yang terpisah (separated body).”
Hal ini didasarkan atas Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 181 tahun 1947. Resolusi ini juga memberikan mandat berdirinya negara Arab (Palestina) dan negara Yahudi (Israel) yang masing-masing berstatus merdeka.
Selain itu, sikap dan kebijakan Pemerintah Amerika Serikat tersebut melanggar beberapa Resolusi Dewan Keamanan PBB atas Yerusalem lainnya yaitu:
1) Resolusi 242 : 22 November 1967, DK PBB meminta Israel menarik pasukan militernya dari kawasan yang diduduki Israel sejak perang 1967.
2) Resolusi 250: 27 April 1968, meminta Israel tidak melakukan parade militer di Yerusalem;
3) Resolusi 251: 2 Mei 1968, mengutuk keras Israel yang melakukan parade militer di Yerusalem;
4) Resolusi 252: 21 Mei 1968, meminta Israel membatalkan semua aktivitas di Yerusalem dan mengutuk okupasi wilayah manapun di sana melalui agresi militer. Resolusi ini juga meminta Israel menghentikan upaya yang mengarah ke perubahan status kota itu.
5) Resolusi 267 : 3 Juli 1969, mengkonfirmasikan resolusi 252, yang menolak bentuk akuisisi wilayah Yerusalem dengan penaklukkan militer.
6) Resolusi 271: 15 September 1969, mengutuk kerusakan besar yang disebabkan oleh upaya pembakaran ke masjid suci Al Aqsa, yang bangunannya terletak di wilayah yang dikuasai secara militer oleh Israel.
Resolusi ini meminta Israel untuk memperhatikan bagian dari Konvensi Jenewa dan “menarik diri dari tindakan yang menyebabkan halangan atas berdirinya Majelis Agung Muslim Yerusalem”, termasuk “rencana Israel untuk memelihara dan memperbaiki tempat suci bagi agama Islam di kota Yerusalem.”
7) Resolusi 298: 25 September 1971, mengkonfirmasikan bahwa semua upaya yang dimungkinkan termasuk langkah yang diambil oleh Israel untuk mengubah status Yerusalem, termasuk penyitaan lahan, adalah ilegal.
8) Resolusi 465: 1 Maret 1980, meminta Israel untuk menghentikan perencanaan dan konstruksi dari pembangunan di kawasan yang telah dikuasasinya sejak 1967, termasuk Yerusalem. Resolusi ini juga meminta Israel membongkar pembangunan yang sudah dilakukan.
9) Resolusi 476: 30 Juni 1980, mengkonfirmasikan kembali, “kebutuhan mendesak untuk menghentikan okupasi wilayah Arab oleh Israel yang sudah berlangsung sejak 1967”. Resolusi ini juga menggarisbawahi semua tindakan yang sudah diambil (oleh Israel) atas status Yerusalem, batal demi hukum.
10) Resolusi 478 : 20 Agustus 1980, mengutuk “dalam bentuk yang paling keras”, upaya menghidupkan kembali aturan hukum Israel yang ingin mengubah status Yerusalem. Resolusi ini juga meminta semua negara yang telah mendirikan kantor misi diplomatik di Yerusalem untuk pindah dari kota itu.
11) Resolusi 672: 12 Oktober 1990, penyesalan atas terjadinya kekerasan yang memakan korban jiwa lebih dari 20-an warga Palestina, di Mesjid Al Aqsa pada 8 Oktober 1990. Resolusi ini juga mengutuk kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Israel dan menyebut Israel sebagai “penjajah kekuasaan”.
12) Resolusi 1073 : 28 September 1996, menunjukkan kepedulian terhadap pembangunan di Yerusalem, berkaitan dengan tindakan Israel membuka jalur masuk ke terowongan dekat Masjid Al Aqsa. Tindakan ini memicu konflik dan menyebabkan kematian sejumlah warga sipil. Resolusi ini meminta Israel memberikan “keselamatan dan perlindungan” bagi warga sipil Palestina.
13) Resolusi 1322 : 7 Oktober 2000, menyesalkan kunjungan pemimpin oposisi Israel, Ariel Sharon, ke Masjid Al Aqsa, dan dampak kekerasan yang terjadi setelah itu di lokasi itu dan tempat suci lainnya, yang
mengakibatkan lebih dari 80 warga Palestina tewas.
14) Resolusi 1397 : 12 Maret 2002, meminta pemimpin Palestina dan Israel untuk kembali ke proses perdamaian melalui negosiasi berkaitan dengan politik pembangunan di kawasan Yerusalem Timur.
15) Resolusi 2334: 23 Desember 2016, mengutuk konstruksi pembangunan yang dilakukan Israel di semua wilayah yang mereka kuasai sejak perang 1967, termasuk di Yerusalem Timur. DK PBB menekankan tidak akan mengakui perubahan apapun atas garis batas yang ditetapkan sebelum perang 1967, dan mengingatkan bahwa “penghentian semua kegiatan pembangunan sangat penting untuk menyelamatkan solusi dua negara di Yerusalem.”
Langgar Resolusi Majelis Umum PBB
Selain melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB, Pemerintah Amerika Serikat jelas jelas membangkang terhadap Resolusi Majelis Umum PBB Atas Yerusalem, yaitu ;
1) Resolusi 2253: 4 Juli 1967, menyampaikan kepedulian dan kekhawatiran atas upaya Israel untuk mengubah status Yerusalem dan meminta semua upaya yang telah diambil untuk dibatalkan dan tidak ada lagi upaya seperti itu.
2) Resolusi 36/15: 28 Oktober 1981, memastikan bahwa transformasi yang dilakukan Israel atas Yerusalem, termasuk terhadap situs sejarah, budaya dan agama, mengandung “pelanggaran yang menyolok terhadap prinsip hukum internasional”. Tindakan yang dilakukan Israel itu menyebabkan hambatan serius untuk mencapai perdamaian yang adil dan komprehensif di Timur Tengah.
3) Resolusi 55/130: 28 Februari 2001, meminta agar Israel bekerjasama dengan komite khusus yang dibentuk untuk menelisik tindakan Israel yang melanggar hak asasi manusia warga Palestina dan warga Arab lainnya, di kawasan yang diokupasi Israel.
Resolusi itu menyatakan kekhawatiran mendalam akan situasi memburuk yang terjadi di Yerusalem, yang diakibatkan oleh praktik dan tindakan yang dilakukan, terutama penggunaan kekerasan militer yang berlebihan, yang menyebabkan lebih dari 160 warga Palestina tewas.
4) Resolusi 10/14 : 12 Desember 2003, meminta Pengadilan Internasional Untuk Keadilan (HAM) memberikan opini nasihat atas konsekuensi hukum dari pembangunan tembok yang dilakukan Israel di “wilayah Palestina yang diokupasi, termasuk Yerusalem Timur.”
5) Resolusi 60/104 : 18 Januari 2006, meminta komite khusus, “menunda penghentian kelanjutan okupasi Israel,” dan melanjutkan penelisikan terhadap aksi Israel di “wilayah Palestina yang diokupasi, termasuk Yerusalem Timur dan kawasan Arab lainnya” sejak perang 1967.
6) Resolusi 70/89: 15 Desember 2015, mengutuk kelanjutan dari okupasi Israel di wilayah Palestina yang dikuasainya, termasuk Yerusalem Timyr, sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Resolusi ini juga menyalahkan pembangunan tembok di kawasan itu yang dianggap melanggar hukum. Termasuk atas pembangunan tembok di dalam dan di lingkaran sekitar Yerusalem Timur.
7) Resolusi 71/96: 23 Desember 2016, menegaskan kembali bahwa Konvensi Jenewa atas perlindungan warga sipil dalam perang, harus diterapkan di kawasan Palestina yang diokupasi Israel, termasuk Yerusalem Timur dan kawasan Arab lainnya, sejak 1967. (des)