SANA’A, (Panjimas.com) – Pembunuhan mantan Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh, oleh kelompok Syiah Houthi akhirnya menghapus peranan tokoh politik penting yang eksis di kancah perpolitikan selama empat dekade lamanya.
Sebelumnya Ali Abdullah Saleh bersekutu d ngan Houthi untuk menentang pemerintahan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi yang didukung pasukan koalisi pimpinan Saudi, situasi kompleks yang terjadi setelah pembunuhan Saleh mengubah dinamika perpolitikan dan perang sipil Yaman.
Bahkan situasi ini juga makin menjadikan Yaman negara miskin serta memicu krisis kemanusiaan terburuk di dunia, serta konflik berkepanjangan.
Kematian Ali Abdullah Saleh menandai pergeseran dramatis 3 tahun peperangan dalam keadaan buntu. Hal ini berisiko makin memperparah konflik Yaman.
Ali Abdullah Saleh adalah pemain penting dalam jatuhnya Yaman dalam perang sipil. Keengganannya mundur dari kekuasaan pada tahun 2012 – akhirnya memaksakan gelombang musim semi Arab dengan rentetan protes dan gejolak konflik setelah 33 tahun dirinya memerintah – sehingga membawa Wakil Presidennya Abdu Rabbu Mansour Hadi (1994-2012) yang didukung Saudi, dalam tampuk pemerintahan nomor wahid di negara itu.
Namun pada tahun 2014, Ali Abdullah Saleh meraju aliansi yang tidak mudah dan tak diduga dengan mantan musuhnya, Houthi, untuk memfasilitasi pengambilalihan kendali pemerintahan di Sana’a sehingga akhirnya memaksa Abdu Rabbu Mansour Hadi untuk melarikan diri ke Arab Saudi.
Itu adalah sebuah aliansi yang gagal, tapi hanya sedikit yang memperkirakan bahwa Ali Abdullah Saleh yang menjalin aliansi dengan pemberontak Houthi tersebut, akhirnya akan dibunuh oleh Houthi. Sebelumnya, selama kurun waktu 2004 hingga 2011 Saleh memerangi Houthi.
Nampaknya ambisi kuasa Ali Abdullah Saleh menghantarkan dirinya bersekutu dengan Houthi selama 2014-2017, namun naas nyawanya pun direnggut oleh sekutunya itu.
Sejauh ini aliansi Saleh-Houthi menguntungkan kedua belah pihak. Saleh menggunakan persenjataan dan tenaga kerja serta sumberdaya pasukan Houthi, sementara pemberontak Houthi memperoleh keuntungan dari jaringan pemerintahan dan intelijen Saleh.
Dalam sepekan terakhir, konstelasi perpolitikan Yaman berubah saat Saleh bergerak untuk meningkatkan kekuatannya di Sana’a dan memberi isyarat bahwa dia akan bertukar sisi, dengan berupaya menjalin dialog dengan Saudi dan sekutu-sekutu mereka, termasuk Uni Emirat Arab.
Terdapat laporan yang menyebutkan bahwa pengeboman Saudi terhadap Sana’a dalam beberapa hari terakhir menargetkan wilayah-wilayah yang dikuasai Houthi dalam upaya untuk membantu meningkatkan kekuatan Saleh – tapi hal itu ternyata tidak banyak membantu Saleh untuk mencegah pemberontak Houthi membunuhnya.
Tanpa Saleh, Houthi diperkuat – setidaknya dalam jangka pendek. “Ada kemungkinan instrumen pendukung [Saleh] akan melemah secara radikal, jika tidak terpinggirkan dalam periode yang akan datang; situasi ini menjadikan Houthi sebagai kekuatan kunci di Yaman Utara,” pungkas Adam Baron, personil tamu dari Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, dilansir dari The Guardian.
Seruan Houthi agar perayaan-perayaan yang diadakan di ruang-ruang publik pada hari Selasa (05/12) setelah pembunuhan Saleh membuat sedikit keraguan bahwa alih-alih rekonsiliasi, Adam Baron berpandangan, para pemberontak Houthi berada “dalam mood untuk konsolidasi”.
Saleh, yang merupakan mantan perwira militer, menjadi Presiden Yaman Utara pada tahun 1978 setelah menjalankan kudeta, namun ketika wilayah Utara dan Selatan bersatu kembali pada tahun 1990, Ia terpilih sebagai presiden pertama negara baru tersebut. Ali Abdullah Saleh pernah menyebut periode kepemimpinannya dengan modal kekuatan untuk “menari di atas kepala-kepala ular”.
Perang di Yaman sejauh ini menemui jalan buntu, dan sulit untuk mengatakan pihak mana yang menang. “Bagi Houthi, definisi kemenangan hanya bertahan, dan mereka melakukan pekerjaan yang bagus; Bagi Saudi, definisi kemenangan adalah memulihkan pemerintah yang diakui secara internasional,” pungkas Adam Baron.
“Houthi menghabiskan satu dekade lamanya untuk memerangi pemberontakan yang terisolasi di pegunungan Yaman Utara. Hanya dengan memegang kendali pada kota Sana’a, apalagi setelah membunuh Ali Abdullah Saleh, musuh historis mereka, itu kemenangan besar”, imbuh Baron.
Pertaruhannya tinggi ketika Bulan lalu, peluncuran rudal yang ditembakkan dari Yaman ke Riyadh membuat putra mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammad bin Salman, menuding Iran “melakukan agresi militer langsung” dengan memasok rudal-rudal ke Houthi – sebuah tuduhan yang dengan tegas dibantah oleh Iran.
Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, menjawab bahwa Arab Saudi “membom Yaman menjadi berkeping-keping, membunuh [ribuan] orang tak berdosa termasuk bayi, menyebarkan kolera dan kelaparan, tapi tentu saja menyalahkan Iran”.
Sejak saat itu Houthi telah meluncurkan setidaknya satu rudal lainnya ke arah Arab Saudi dan pekan lalu mengklaim telah menyerang pabrik nuklir yang sedang dibangun di Uni Emirat Arab, sebuah klaim yang dibantah oleh UEA.
New York Times melaporkan Senin (04/12) bahwa para ahli rudal telah meragukan klaim bahwa sistem pertahanan Amerika mampu mencegat rudal Yaman yang ditembakkan ke bandara Riyadh.
Satu hal yang jelas adalah Yaman tanpa Ali Abdullah Saleh akan berbeda, namun tetap negara dengan situasi tak terduga,.
“Bahkan ketika orang-orang ingin bermain di lapangan Yaman dari luar,” kata Baron, “dinamika internal memiliki cara untuk bergeser dengan jalan yang tidak benar-benar dapat diperkirakan siapapun”, pungkas Baron.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, dan tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi internasional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Sejumlah organisasi hak asasi manusia telah menuding Kerajaan Saudi terlibat kejahatan perang sebagai akibat dari kampanye pengebomannya yang dapat dianggap sembarangan dan menyebabkan kerusakan berlebihan pada negara tersebut termasuk jumlah korban tewas yang cukup tinggi.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai. Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit.[IZ]