STOCKHOLM, (Panjimas.com) – Ratusan Warga di Stockholm, Swedia pada hari Selasa (28/11) lalu menggelar aksi solidaritas terhadap Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar
Mereke mengecam keras tindak penganiayaan yang terus berlanjut terhadap Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine.
Aksi yang diikuti lebih dari 100 orang tersebut diadakan di Sergels Torg Square atas inisiatif “Rohingya Support Committee”, “Komite Dukung Rohingya”, dilansir dari Anadolu Ajensi.
Para peserta turut membawa gambar-gambar foto, plakat dan spanduk-spanduk yang mengutuk kekejaman terhadap minoritas Muslim oleh tentara dan pemerintah Myanmar.
“Hentikan genosida di Myanmar”, “Stop killing Muslims in Arakan” [“Berhenti Membunuh Muslim di Arakan”] dan “Stop Rohingya Genocide’!’ adalah beberapa slogan-slogan yang disuarakan dalam aksi demonstrasi tersebut.
Para pengunjuk rasa juga mendesak pencabutan Hadiah Nobel Perdamaian yang diberikan kepada Aung San Suu Kyi di Myanmar pada tahun 1990.
Ketua Asosiasi Rohingya Swedia “Swedish Rohingya Association”, Abul Kalam berterima kasih kepada rakyat Turki dan Presiden Recep Tayyip Erdogan karena mendukung isu Rohingya.
Abul Kalam juga menyatakan rasa puasnya atas aktifitas Organisasi Kerjasama dan Koordinasi Turki (TIKA) di Myanmar.
“Kami bersyukur kepada Turki dan presiden Turki yang menunjukkan kemanusiaan dan simpati kepada kami,” ujarnya mewakili Asosiasi Rohingya Swedia.
Menteri Luar Negeri Swedia Margot Wallström, yang berada di Bangladesh dan Myanmar pekan lalu, mengatakan bahwa lebih dari 600.000 Muslim Rohingya telah mengalami kekerasan dan pelecehan sejak Agustus.
European Rohingya Council, Dewan Rohingya Eropa menggambarkan situasi tersebut sebagai “slow-burning genocide”. Namun, peristiwa genosida ini memperoleh percepatannya setela insiden 25 Agustus. Sejak itu, hampir tidak ada Muslim yang tinggal di tanah air bersejarah Muslim Rohingya di Rakhine.
Menurut PBB, jumlah pengungsi Rohingya di wilayah ini sekarang mencapai sekitar 833.000.
Sementara sejak 25 Agustus, Lebih dari 622.000 pengungsi tiba di Bangladesh, menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuding Myanmar mengizinkan pasukan militernya untuk terlibat dalam operasi pembersihan etnis terhadap Muslim Rohingya.
Badan-Badan bantuan kemanusiaan telah memperingatkan bahwa ada kekhawatiran nyata bahwa anak-anak yang rentan tersebut dapat menjadi korban-korban pelecehan ataupun perdagangan manusia.
Para pengungsi Rohingya melarikan diri dari operasi militer di Myanmar di mana tentara dan gerombolan ektrimis Buddha membunuh laki-laki, perempuan dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah-rumah mereka dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Ini adalah gerakan “terbesar dan tercepat” dari populasi sipil di Asia sejak tahun 1970an, demikian pernyataan PBB.
Beberapa pakar PBB beberapa pekan lalu mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan “semua kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya dan menghentikan penganiayaan yang sedang berlangsung serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius”.
Seruan yang dibuat oleh 7 pelapor khusus PBB yang menangani hak asasi manusia tersebut muncul di laman situs resmi Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR).
Pakar PBB menyatakan terdapat berbagai tuduhan yang kredibel atas pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran serius. Para ahli juga mengatakan Myanmar harus memberikan “akses kemanusiaan secara bebas” kepada organisasi internasional untuk membantu pengungsi di internal Rakhine.
Pernyataan bersama tersebut juga menyebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia itu mencakup pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekerasan, perlakuan sewenang-wenang dan perlakuan sewenang-wenang yang berlebihan, kekerasan seksual dan berbasis gender, dan penculikan paksa, “serta pembakaran dan penghancuran lebih dari 200 desa-desa Rohingya dan puluhan ribu rumah “.
Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dibantai dalam tindakan brutal Militer Myanmar.[IZ]