Bogor (Panjimas.com) – Wakil Ketua Dewan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc hadir dalam pembukaan rapat kerja nasional (Rakernas) MUI ke-3 masa khidmat 2015-2020 di Hotel Sahira, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa malam (28/11/2017).
Di acara yang bertemakan “Meneguhkan Peran MUI dalam Menerapkan Islam Wasatiyyah dan Arus Baru Ekonomi Indonesia” itu, Kyai Didin menyampaikan tentang peran dan fungsi ulama. Menurut pandangannya, ada tiga peran dan fungsi ulama menurut Alquran.
Ia menjelaskan, di dalam Alquran ada tiga ayat yang berkaitan dengan peran dan fungsi ulama. Dua ayat langsung secara tersurat terdapat kata-kata ulama. Yaitu Surat Asy-Syu’ara ayat 197 dan Surat Fatir ayat 28. Satu ayat lagi yang tidak langsung memuat kata-kata ulama, tapi berkaitan dengan fungsi ulama yaitu Surat At Taubah ayat 122. “Dalam pemahaman saya ketiga ayat ini memuat kriteria utama dari ulama,” ujarnya.
Kriteria pertama, kata Kyai Didin, ulama harus tafaqquhu fiddin, yakni memahami ilmu agama secara mendalam. Sehingga menjadi rujukan masyarakat untuk bertanya berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Ulama adalah sosok yang dekat dengan masyarakat. Ulama adalah orang-orang yang bisa dipercaya oleh masyarakat
Kedua, ulama adalah sosok yang memahami perkembangan keadaan. Juga memahami perkembangan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dalam berbagai macam aspek. “Apakah aspek-aspek yang positif yang memberikan harapan-harapan, maupun aspek-aspek negatif yang mengkhawatirkan masa yang akan datang,” ujarnya.
Mengutip Imam Bayhaki dalam Kitab Dalalun, Kyai Didin mengatakan, ulama adalah sosok yang memahami dan mengerti zaman. Ulama juga tidak ketinggalan zaman, selalu mencari informasi dan perkembangan hal-hal lainnya. Guna memberikan solusi bagi setiap persoalan yang dihadapi masyarakat.
Yang ketiga, ulama sosok yang akhlakul karimah. Artinya memiliki integritas dan pribadi yang kuat serta menjadi panutan masyarakat. Jadi masyarakat bukan sekedar melihat pada ilmunya ulama. Tetapi melihat pada opini, pendapat, akhlak dan keseharian kehidupan ulama. “Tidak ada gap antara yang diucapkan dengan apa yang dilakukan (ulama),” ujarnya.
Kyai Didin juga menyampaikan peringatan dari Nabi terkait ulama di akhir zaman, bahwa; ‘Akan datang suatu zaman kepada kaumku, tidak ada yang tinggal dari Islam melainkan namanya dan dari Alquran melainkan hanya tulisannya, masjid-masjid mereka bagus dan ramai tetapi kosong dari petunjuk. Ulama mereka seburuk-buruk makhluk di kolong langit, dari mulut mereka keluar fitnah-fitnah yang akan kembali kepada mereka’. “Mudah-mudahan kondisi tersebut belum terjadi dan tidak terjadi pada kita,” tuturnya.
Dari ketiga kriteria tadi, Kyai Didin melanjutkan, bahwa ulama juga memiliki peran. Yang pertama untuk menjaga dan melihara agama. “Menjaga agama dari pemikiran yang menyesatkan, menjaga agama dari paham-paham radikalisme agama dan radikalisme sekuler. Kemudian MUI saat ini mengembangkan Islam Wasathiyah, suatu prinsip yang pribadi-pribadinya menjadi syuhada lalu menghadirkan keunggulan dan keindahan Islam,” jelasnya.
Kedua, menjaga umat agar umat bisa melaksanakan syariat Islam dengan baik. Menurutnya, Indonesia memang bukan negara agama dan bukan juga negara sekuler, tetapi negara ini menghormati agama sehingga ini menjadi peluang agar kita mampu melaksanakan ajaran Islam di berbagai bidang kehidupan.
Lalu tugas ulama yang ketiga adalah menjaga negara yang kita cintai. “Negara kita adalah warisan para syuhada, warisan para ulama dan pejuang, oleh karena itu mari kita pertahankan negeri ini,” tegasnya.
Ia berharap, para ulama peserta Rakernas bisa menterjemahkan sejumlah peran yang disebutkan itu. “Dan mudah-mudahan Rakernas MUI bisa menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang bermanfaat bagi umat dan bangsa,” tandasnya. [pung/des]