SUKOHARJO, (Panjimas.com) – Madina (Majelis Dakwah Islam Indonesia) menggelar kajian bertema “Negara Islam Tanah Jawi” dengan dua pembicara ahli sejarah di Masjid Al Fatah, Cemani, Grogol, Sukoharjo, Ahad (26/11/2017).
Ustadz Fahrurozy Abu Syamil, penulis dan pemerhati sejarah sebagai pembicara pertama. Dia menjelaskan bentuk militansi orang terdahulu sangat kuat sekali.
“Ketika memperjuangkan syariat Islam itu kita menghidupkan sejarah nenek moyang kita,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan bahwa musuh Pangeran Diponegoro membagi dua kelompok yakni Kafir Belanda dan Murtad pendukung Belanda.
“Setiap zaman pasti ada orang yang mendukung Islam ada, memusuhi Islam juga ada. Kalau Diponegoro membagi musuhnya dua kelompok, satu orang kafir asli yaitu Belanda, yang kedua orang murtad yang mendukung Belanda,” tuturnya.
Sementara itu Ustadz Azhari Dipo Kusumo, cucu generasi ke lima Pangeran Diponegoro memaparkan visi misi kakek buyutnya pada jamannya. Ideologi Islam yang kuat mewujudkan bentuk perlawanan yang diukir sejarah yakni Perang Sabil yang berarti Jihad fi Sabilillah.
“Hari ini siapapun yang memiliki visi penegakan Islam, dia adalah pewaris Diponegoro meskipun bukan keluarganya. Karena kita tidak bisa mengandalkan keturunan Nabi, kita tidak bisa mengandalkan para sahabat kalau tidak bisa menegakkan Islam dari mulai yang kecil diri sendiri,” tuturnya.
Ustadz Dipo mengatakan bahwa setiap muslim memiliki kewajiban menegakkan Islam sebagaimana ideologi kakeknya, Pangeran Diponegoro. Musuh Allah, musuh orang beriman kata dia, paling takut jika umat Islam bersiap diri.
“Kalau hari ini kita nggak menang-menang, simpelnya ada yang dilakukan muslimin dengan membiarkan kemungkaran. Hendaknya setiap muslim mempersiapkan diri, dengan persiapan itu musuh Allah memperhitungkan,” ucapnya.
Kualitas militansi kaum muslimin saat ini mengalami penurunan degradasi yang luar biasa. Ustadz Dipo menyimpulkan sebab tersebut karena kaum muslimin mengikuti ekor sapi, sibuk dengan dunia. [SY]