LONDON, (Panjimas.com) – Berbagai penyakit dan wabah kelaparan melanda Yaman sehingga diperkirakan sekitar 50.000 anak-anak Yaman terancam meninggal dunia pada akhir tahun ini, demikian pernyataan LSM “Save the Children” , seperti dilansir The Telegraph.
“Kematian ini tidak masuk akal karena bisa dicegah. Mereka berarti lebih dari seratus ibu akan berduka atas kematian seorang anak, hari demi hari, ” pungkas Tamer Kirolos, Direktur Save the Children.
Sekitar 40.000 anak-anak diperkirakan telah meninggal dunia akibat kekurangan gizi.
Perhitungan “Save the Children” ini diprediksi sebelum pasukan koalisi pimpinan-Arab Saudi menutup lalu lintas udara, darat dan pelabuhan laut di Yaman yang membatasi impor ke negara tersebut.
Kebijakan ini sebagai tanggapan atas rudal yang ditembakkan oleh kelompok bersenjata Houthi yang didukung Iran menuju Bandara Riyadh awal bulan ini.
Pelabuhan di Yaman Selatan telah dibuka kembali, namun Bandara Sana’a dan pelabuhan strategis Hudaydah masih ditutup.
Sekitar 700.000 kasus kolera yang tercatat telah dilaporkan di Yaman.
Doctors Without Borders (MSF) mengumumkan pada awal November bahwa pihaknya menutup hampir seluruh klinik kolera di Yaman, dan mengatakan wabah di sana telah mencapai puncaknya.
Lebih dari 884.000 jiwa dilaporkan terjangkit penyakit kolera sejak April, dan 2.184 lainnya dilaporkan meninggal dunia.
MSF mengatakan bahwa wabah kolera belum berakhir, namun kasus tersebut telah menurun secara signifikan.
Hanya 567 pasien baru yang mencari perawatan di pusat amal medis selama pekan kedua bulan Oktober, turun dari 11.139 pada pekan ketiga bulan Juni.
Layanan kesehatan Yaman tidak mampu mengatasi wabah tersebut, dengan lebih dari separuh fasilitas medis ditutup karena kerusakan yang dialami selama berbulan-bulan konflik antara pasukan pro-pemerintah dan pemberontak Huthi.
Rumah sakit dan klinik juga menghadapi kekurangan staf, obat-obatan, bahan bakar dan peralatan medis yantg lumpuh, sementara kerusakan pada infrastruktur juga menyebabkan 15,7 juta orang terputus dari akses reguler terhadap air bersih dan sanitasi, sehingga meningkatkan kemungkinan penyebaran kolera.
Sejak awal wabah pada tanggal 27 April, MSF telah menerima lebih dari 103.000 pasien di 37 pusat pengobatan kolera dan titik rehidrasi oral.
Namun badan amal tersebut mengatakan bahwa hanya 9% pasien yang dirawat di pusat perawatan pada pekan lalu membutuhkan perawatan rawat inap, dan hanya sejumlah kecil yang memiliki gejala yang berkaitan dengan definisi kasus kolera – diare berair akut dengan atau tanpa muntah-muntah.
Akibatnya, beberapa pusat MSF telah tutup atau sedang dalam proses penutupan.
“Wabah kolera belum berakhir, tapi bukan lagi prioritas medis kami di Yaman,” pungkas Ghassan Abou Chaar, Kepala Misi MSF di Yaman.
“Namun, ini seharusnya tidak mengganggu situasi kesehatan jutaan orang Yaman yang tidak dapat mengakses layanan kesehatan dasar dasar”, imbuhnya.
Abou Chaar mengatakan bahwa sekarang penting untuk menerapkan sistem pemantauan yang tepat untuk mencegah timbulnya wabah kolera.
Pada tanggal 19 Oktober, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan data mengindikasikan jumlah kasus kolera menurun, dan telah berkurang dari hampir 51.000 kasus dalam sepekan pada puncak wabah menjadi 35.000 kasus per pekan dalam dua pekan pertama bulan ini.
Anak-anak di bawah usia lima tahun mewakili 26% kasus dan hampir 17% kematian, namun orang berusia di atas 60 tahun menyumbang 31% kematian, tambahnya.
Komite Internasional Palang Merah, International Committee of the Red Cross (ICRC) memperkirakan jumlah kasus kolera di Yaman akan meningkat dua kali lipat pada akhir tahun ini, sehingga kemungkinan akan menjangkiti lebih dari 600.000 penduduk Yaman.
Menurut ICRC, lebih dari 3 juta penduduk terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka sejak awal mula konflik Yaman, dan lebih dari 20 juta penduduk di seluruh negeri membutuhkan bantuan kemanusiaan.
Untuk diketahui, lebih dari setengah total korban adalah warga sipil. sementara 3 juta lainnya diperkirakan terpaksa mengungsi, di tengah penyebaran malnutrisi dan penyakit.
Yaman yang kini menjadi negara miskin, tetap berada dalam keadaan kacau sejak tahun 2014, ketika milisi Syiah Houthi dan sekutunya menguasai ibukota Sanaa dan bagian-bagian lain negara ini.
Sejak Maret 2015, koalisi interansional yang dipimpin Saudi telah memerangi pemberontak Syiah Houthi yang disokong rezim Iran dan pasukan-pasukan yang setia kepada mantan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, Arab Saudi dan sekutu-sekutu negara Muslim Sunni meluncurkan kampanye militer besar-besaran yang bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan yang diakui secara internasional dibawah Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Arab Saudi dan para sekutunya melihat milisi Houthi sebagai proxy kekuatan Iran di dunia Arab. Koalisi militer Arab yang dipimpin oleh Saudi di Yaman terdiri dari Koalisi 10 negara yakni Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Yordania, Mesir, Maroko, Sudan, dan Pakistan.
Menurut pejabat PBB, lebih dari 10.000 warga Yaman telah tewas akibat konflik berkepanjangan ini, sementara itu lebih dari 11 persen dari jumlah penduduk negara itu terpaksa mengungsi, sebagai akibat langsung dari pertempuran yang tak kunjung usai.[IZ]