JAKARTA, (Panjimas.com) – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma’ruf Amin khawatir terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan gugatan uji materi (judicial review) terkait Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU tentang Administrasi Kependudukan, akan melahirkan pembela MUI baru.
“Kalau hal ini dilanjutkan akan menimbulkan kekacauan, penolakan-penolakan yang luar biasa,” ujar KH. Ma’ruf Amin, di gedung MUI, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (16/11/2017).
Menurutnya, apa yang yang sudah tercantum dalam KTP adalah sebuah kesepakatan politik. “Kesepakatan politik itulah yang menyelesaikan persoalan-persoalan perbedaan,” katanya.
Hal serupa disampaikan oleh Direktur Kepercayaan kepada Ketuhanan yang Maha Esa dan Tradisi, Sri Hartini mengatakan, memang benar adanya kesepakatan politik sebagaimana yang dikatakan oleh presiden ketika itu berpidato.
“Betul ada kesepakatan politik yang pada saat itu presiden berpidato pada 16 Agustus 1978 menyatakan bahwa kepercayaan terhadap Ketuhanan yang Maha Esa adalah kekayaan ruhaniah di dalam spiritual,” jelasnya.
Maka, KH. Ma’ruf Amin memandang kalau putusan MK tersebut kekeh dilanjutkan, agama yang selama ini belum tercantum akan menuntut. Agama Bahai, agama Yahudi, macem-macem nanti agama itu akan menuntut.
Oleh karena itu, jangan sampai masalah KTP ini menimbulkan pembela MUI baru. “Kita ingin mencegah terjadinya itu,” imbuhnya.
Menyinggung soal anggapan yang mengatakan bahwa penghayat kepercayaan sulit dikuburkan lantaran agamanya tidak dicantumkan di KTP. Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu menegaskan bahwa hal itu mudah jika ditelusuri.
“Kalau ada yang mati ya liat aja KTP-nya, diusut nanti juga ketemu. Jadi kalau untuk hak-haknya nanti bisa terpenuhi walaupun tidak dicantumkan dalam KTP” pungkasnya. [DP]