JAKARTA (Panjimas.com) – Hari ini, Rabu (15/11) dijadwalkan Rapat Forum Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Gedung MUI, J. Proklamasi 51 Jakarta, untuk membahas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 97/PUU-XIV)/2016 tentang Aliran Kepercayaan masuk dalam KTP.
Sebelumnya, MUI menanggapi keputusan MK yang telah mengabulkan aliran kepercayaan bisa dimasukkan di kolom agama KTP dan KK. Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Saadi mengaku, pihaknya masih mengkaji putusan MK tersebut. “MUI sedang mengkaji melakukan pendalaman, penelitian terhadap putusan itu,” ujar Zainut kepada wartawan, beberapa waktu lalu, Kamis (9/11).
Menurut anggota Komisi IV DPR ini, pengkajian dilakukan lantaran MUI tidak ingin salah langkah dalam mengambil keputusan terhadap umat ini. “Karena ini cukup sensitif, krusial sehingga perlu ada pendalaman yang lebih,” katanya.
Saat ini MUI juga telah membentuk tim untuk melakukan kajian ini. Zainut berharap dalam waktu dekat MUI mengumumkan sikapnya terkait putusan dari lembaga penguji undang-undang ini. “MUI sudah membentuk tim, dan akan mendegarkan berbagai pendapat para ahli dalam masalah ini,” pungkasnya.
MK memutuskan mengabulkan gugatan dari empat penganut kepercayaan yang merasa hak mereka terdiskriminasi. Dengan keputusan ini, tidak ada lagi diskriminasi terhadap warga negara yang menganut kepercayaan yang belum disahkan oleh negara.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat mengatakan, pihaknya mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Menurutnya,
Pasal 61 ayat (2) UU No 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 ayat (5) UU No 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang Dasar Negara Republik Indonesia serta tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dengan keputusan MK tersebut, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
Terkait hal itu, Dukcapil Kemendagri menyatakan pihaknya membutuhkan proses untuk melaksanakan putusan MK. Termasuk, membenahi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) terkait pengisian kolom agama.
Saran MUI
Pencantuman aliran kepercayaan di kolom agama Kartu Tanda Peduduk (KTP) telah menimbulkan polemik. Anggota Komisi
Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anton Tabah Digdoyo memandang aliran kepercayaan sebagai hal negatif yang tak boleh berkembang di Indonesia. Pasalnya, NKRI adalah negara beragama bukan negara penghayat aliran kepercayaan.
“Keputusan MK itu menandakan negeri ini mundur ke zaman batu, animisme-dinamisme bakal tumbuh subur lagi di Indonesia, di era sains yang semakin maju,” ujar Anton dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/11).
Menurut Anton, rezim Orde Baru tak pernah menginginkan aliran kepercayaan berkembang.Bahkan, Presiden Soeharto saja, pernah mengatakan kepadanya bahwa aliran kepercayaan pada akhirnya harus hilang dan menginduk ke agama-agama yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Salah satu tujuan pembentukan MUI oleh saat Presiden Soeharto memimpin, ujar Anton, adalah untuk menghindari kesetaraan antara agama dan aliran kepercayaan. “Jadi dengan disahkannya aliran kepercayaan setara dengan agama ini. Berarti MUI dan lembaga-lembaga agama telah kalah,” tegas mantan ajudan Pak Harto itu.
Anton pun berharap pemerintahan Joko Widodo-Jusu Kalla segera menyadari potensi konflik akibat putusan MK tersebut. Menurutnya, kemajemukan bangsa Indonesia tak perlu ditambah rumit lagi dengan memberi ruang bagi aliran kepercayaan.
“Bangsa Indonesia ini sangat majemuk, namun karena dilegalkannya aliran kepercayaan, justru makin rentan konflik horizontal,” pungkasnya.
Sementara itu Ketua Komisi Hukum MUI Ikhsan Abdullah menilai, pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri harus mengajak pemangku kepentingan (stakeholder) enam agama yang telah diakui di Indonesia guna membahas pelaksanaan putusan MK tersebut.
Ikhsan mengatakan, apabila dilihat dari sisi hukum, putusan MK terkait uji materi Pasal 61 ayat 1 dan Pasal 64 ayat 1 UU Administrasi Kependudukan tersebut sudah tepat. Namun, dalam hal melaksanakan putusan itu, pemerintah perlu mengkajinya lagi lebih jauh dan tidak perlu terburu-buru.
“Yaitu melibatkan stakeholder enam agama ini yang memiliki cara-cara, tata cara, dan ajaran bagaimana memperlakukan orang itu hidup sampai meninggal dunia,” kata Ikhsan.
Menurut Ikhsan, tiap-tiap agama mengatur tata cara hidup manusia mulai dari lahir, hidup, dan meninggal dunia. Sementara untuk penghayat kepercayaan hal tersebut belum memiliki aturan yang jelas.
“Itu yang harus dijawab oleh negara. Jangan sampai nanti setiap yang meninggal ditelepon dulu Dukcapil Kemendagri. Eh ini meninggal, kepercayaan apa ini? Itu problem kan? Masak tiap hari ada yang meninggal itu selalu berdering telepon kantornya itu,” papar Ikhsan.
Selain itu, kata Ikhsan, perlu juga dikaji soal teknis pengisian kolom kepercayaan pada KTP. Sebab, selama ini enam kepercayaan yang diakui secara resmi di Indonesia.
“Sekarang ini problemnya di kolom agama itu apakah perlu ditambah satu kolom. Karena kalau kolom agama itu isinya kan agama yang resmi itu isinya enam. Nah sekarang ada kepercayaan, apakah ada kolom tersendiri. Itu kan jadi masalah,” pungkasnya. (des)