BANDUNG, (Panjimas.com) – Setelah menjalani sidang marathon selama beberapa bulan, palu hakim menjatuhkan vonisnya kepada Buni Yani selama 1,5 tahun penjara atas kasus penyebaran video pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Walau selama persidangan, tuduhan jaksa dapat dipatahkan oleh tim pengacara bahkan juga dikuatkan oleh pakar hukum ternama Indonesia mulai dari Profesor Yusril Ihza Mahendera hingga ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Profesor Dr M Muzakir, namun hakim tetap menyakini tindakan Buni Yani mengunggah video pidato Ahok yang memang sudah viral adalah tindakan melawan hukum.
“Banyak fakta-fakta persidangan yang diabaikan oleh Majelis Hakim yang terhormat. Bahkan putusan hakim Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara yang menyatakan Ahok bersalah karena telah merendahkan dan menghina Surat Al-Maidah ayat 51 sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Begitu juga pendapat Hakim Pengadilan Jakarta Utara yang secara tegas menyatakan tidak ada hubungan antara Buni Yani dengan Ahok. Ini sesungguhnya aneh. Oleh karena itu, saya mendukung langkah penuh Tim Kuasa Hukum Buni Yani mengajukan banding. Kami akan terus kawal Buni Yani menjemput keadilan,” ujar Senator Jakarta Fahira Idris seusai pembacaan vonis Buni Yani di Bandung Selasa, (14/11).
Fahira, bersama berbagai elemen masyarakat lainnya yang sejak awal ikut mengawal kasus Buni Yani mengungkapkan, keputusan Hakim PN Bandung yang sama sekali tidak menjadikan putusan hakim Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara yang menolak pernyataan jaksa penuntut umum karena menyebut unggahan video oleh Buni Yani telah menimbulkan keresahan sebagai pertimbangan sangat disayangkan. Selain itu, putusan hakim Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Utara yang secara tegas menyatakan bahwa keresahan yang timbul di masyarakat terjadi karena ucapan Ahok yang mencederai perasaan dan memecah kerukunan umat serta karena tidak ada satupun pelapor yang menjadikan video yang ada di akun facebook Buni Yani sebagai dasar pelaporan, akan menjadi salah satu amunisi untuk mengajukan banding.
“Dasar tuntatan JPU yang menuntut Buni Yani kan sama dengan kesimpulan JPU kasus Ahok, yang saat membacakan tuntutan menyatakan bahwa unggahan video oleh Buni Yani telah menimbulkan keresahan. Dan seperti yang kita ketahui bersama kesimpulan ini dibantah tegas oleh hakim PN Jakarta Utara. Tetapi kenapa pendapat hakim PN Bandung malah bertolak belakang?,” tukas Ketua Komite III DPD ini.
Pertimbangan hakim bahwa Buni Yani terbukti secara sah bersalah melakukan mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik, juga lari dari fakta persidangan. Sebagai seorang dosen komunikasi dan sangat memahami UU ITE, lanjut Fahira, Buni Yani membuat tanda tanya sebagai tanda mengajak netizen berdiskusi soal isi video.
“Jadi tidak ada mengedit apalagi mengubah isi video. Video tersebut memang sudah viral. Postingan ajakan diskusi adalah hal yang biasa, tidak melanggar hukum dan hal yang biasa di dalam sebuah negara demokrasi. Tetapi karena saat itu, Buni Yani berani mengkritisi seorang pejabat publik yang begitu berkuasa tetapi melakukan kesalahan fatal, Buni Yani menjadi sasaran kemarahan dan dendam,” pungkas Ketua Umum Kebangkitan Jawara dan Pengacara (Bang Japar) ini. [RN]