NOUAKCHOTT, (Panjimas.com) – Partai-Partai Oposisi Mauritania Ahad (12/11) lalu menyerukan sebuah “pemberontakan rakyat” terhadap Presiden Mohamed Ould Abdel Aziz, yang menyebut bahwa rezim pemerintahannya “otoriter”.
Dalam sebuah pernyataan bersama, partai-partai oposisi mengatakan bahwa mereka akan melakukan aksi demonstrasi jalanan selama festival rakyat pada 25 November, untuk “menentang rezim yang “haus-lapar akan penindasan dan penjarahan”, dilansir dari Anadolu.
Pernyataan bersama tersebut ditandatangani oleh sejumlah partai oposisi, termasuk Forum Nasional untuk Demokrasi dan Persatuan, koalisi oposisi terbesar Mauritania – pernyataan tersebut menjelaskan kekuasaaan Ould Abdel Aziz sebagai “cobaan nyata bagi negara”.
Tidak ada komentar dari Kepresidenan Mauritania atas tuduhan kubu oposisi tersebut.
Selama 2 hari terakhir, partai oposisi mengadakan aksi demonstrasi untuk menekan Ould Abdel Aziz agar tidak mencalonkan diri untuk masa jabatannya yang ketiga.
Meskipun Presiden Mauritania itu telah mengumumkan bahwa dia tidak akan mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga dan akan meninggalkan kekuasaan pada pertengahan 2019, partai-partai oposisi meyakini bahwa dia berencana untuk tetap berkuasa.
Pada bulan Agustus lalu, Mauritania mengadakan referendum kontroversial mengenai beberapa amandemen konstitusi yang diusulkan, termasuk salah satunya menyerukan pembubaran Senat Mauritania.
Meskipun ada klaim dari oposisi bahwa referendum tersebut telah dicurangi, Senat sebagai Majelis Tinggi Parlemen Bikameral Mauritania – dibubarkan segera setelah itu dalam sebuah langkah yang menimbulkan kecaman dari kubu oposisi negara tersebut.
Ould Abdel Aziz merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta militer tahun 2008.
Satu tahun kemudian, dia memenangkan pemilihan presiden, yang integritasnya telah dipertanyakan oleh para kritikusnya.[IZ]