JAKARTA, (Panjimas.com) – Semangat pemberdayaan ekonomi umat belakangan ini yang dimotori alumni 212 sangatlah bagus dan perlu diapresiasi. Tapi ada satu hal yag kita tidak boleh lupa bahwa selama umat Islam masih merokok, maka selamanya ekonomi umat akan terserap habis dengan mudah ke para taipan.
Demikian yang disampaikan secara langsung oleh Prof.DR.H Yunasril Ali, M.A dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam khutbah Jumat nya di Masjid Raya Pondok Indah (MRPI) pada hari Jumat (10/11).
“Ilustrasinya begini, jumlah rokok yang terjual setiap hari di Indonesia mencapai 90 juta bungkus. Yakinlah kita bahwa setidaknya 80% dari itu pembelinya adalah umat Islam. Bila satu bungkus rokok dibeli seharga Rp 10.000 (meski kenyataannya harga sebungkus rokok sudah di atas itu), maka setiap hari Rp 900 milyar uang masuk kantong para pemilik industri tembakau,” ujar Yunasril.
Bila sehari Rp 900 milyar terbakar, maka dalam 4 hari saja jumlahnya mencapai Rp 3,6 trilyun rupiah. Bandingkan dengan total jumlah WAZIS yang terkumpul dari semua LAZIS di tahun 2016 di seluruh Indonesia yang “hanya” Rp 3,7 trilyun, itu artinya jumlah ZIS yang dikumpulkan dengan susah payah selama satu tahun penuh ternyata sama besarnya dengan uang yang “dibakar” lewat rokok selama 4-5 hari saja!! Ini adalah perbandingan yang luar biasa mencengangkan!!
“Seandainya umat Islam kompak dengan penuh kesadaran berhenti merokok selama satu pekan saja, maka lihat berapa uang rokok tersebut bila disisihkan untuk dana pemberdayaan umat. Luar biasa, ‘kan? Bagaimana bila umat Islam berhenti merokok sama sekali dan uang rokok kompak disisihkan untuk dana pemberdayaan ekonomi umat? Yakinlah insyaAllah umat Islam akan maju,” tutur Yunasril.
Siapa saat ini yang mayoritas menguasai industri rokok dari hulu hingga hilir? Tentu kita tahu jawabannya. Mereka itu 40-50 tahun lalu disebut sebagai tauke atau cukong dengan kepemilikan satu gudang tembakau dan satu pabrik rokok. Sekarang ini, anak-cucu mereka bukan lagi sekedar cukong atau tauke, melainkan mereka sekarang disebut taipan atau konglomerat. Cek saja, dari data Majalah Forbes, berapa dari mereka yang masuk 50 besar orang terkaya di Indonesia atau bahkan Asia ? Mereka jadi besar tidak lain dari hasil rokok yang dibeli oleh puluhan juta umat Islam.
“Sekarang mereka bilang sebagai taipan, mereka besar bukan dari rokok saja. Sekarang mereka punya pertambangan besar, real estate/properti raksasa, hingga perkebunan yang luas. Padahal semua itu modalnya didapat dari hasil industri tembakau juga. Sampai sekarang industri tembakau masih jadi pemasukan utama mereka. Selama umat tetap merokok, maka mereka akan terus semakin kaya,” kata Yunasril.
Lihatlah, buruh tembakau adalah buruh yang maaf, kalau hidup mengenaskan. Mereka miskin di bawah kaki para taipan yang luar biasa kaya. Siapa para buruh tembakau ini? Mereka mayoritas umat Islam juga. Padahal bos-bos mereka kaya raya dari hasil jual rokok yang dibeli umat Islam.
“Para pecandu rokok sulit percaya bahwa rokok itu beracun dan bisa membunuh penghisapnya pelan-pelan. Bila ada makanan atau minuman pada kemasannya ditulis “Beracun dan Membunuh”, maka orang nggak ada yang berani beli dan memakannya. Anehnya, biarpun pada kemasan rokok sudah ditulis demikian, tetap saja orang beli dan menghisapnya tanpa ragu,” lanjut Yunasril
Jadi umat Islam harus berhenti merokok sekarang juga menurut dosen UIN Jakarta tersebut.Alasannya bukan karena kesehatan, tapi alasan pemberdayaan ekonomi umat. Sebab kalau alasan kesehatan kan para perokok sudah nggak percaya, meski sudah dibilang bahwa para taipan dan cukong itu sendiri tidak mau menghisap rokok yang mereka jual. Alasan pemberdayaan umat saat ini jauh lebih relevan untuk berhenti merokok.
“Berhentilah merokok sekarang juga dan sisihkan uang rokok tersebut secara berjamaah untuk membangun perekonomian umat. Ekonomi umat harus dibangun secara bersyarikat, seperti halnya Syarikat Dagang Islam (SDI) yang dibangun oleh H. Samanhudi di Surakarta pada tahun 1911,” pungkasnya.
Jadi sudah lebih dari satu abad lalu tokoh umat Islam mempelopori pemberdayaan umat secara bersyarikat atau berjamaah, tidak bisa ekonomi dibangun sendiri-sendiri. Umat Islam tinggal mencontoh dan melanjutkan apa yang sudah pernah dilakukan oleh SDI dibawah kepemimpinan H. Samanhudi di masa yang lalu.[ES]