SOLO, (Panjimas.com) – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dkk yang meminta penghayat kepercayaan bisa masuk kolom agama di KTP. Menanggapi hal itu, pemerhati dunia Islam, Ustadz Abdul Rohim Ba’asyir balik bertanya yang mengajukan tersebut apa termasuk jenis manusia.
Ustadz Iim (sapaannya) menjelaskan bahwa fitrahnya manusia itu meyakini adanya Tuhan yang maha Esa (bertauhid). Lantas orang yang hanya percaya saja tanpa ada amal perbuatan sesuai tuntunan Nabi sang pembawa risalah Tuhan, menurutnya sudah menyalahi fitrah sebagai manusia.
“Anda ini manusia apa bukan, ideologi Anda ini apa sebenarnya. Karena fitrah manusia itu fitrahnya bertauhid dan tauhid itu beragama Islam,” katanya saat ditemui Panjimas di Tipes, Solo, Rabu (8/11/2017).
Salah satu penghayat kepercayaan berargumen bahwa aliran kepercayaan sudah ada jauh sebelum Republik Indonesia merdeka. Ustadz Iim menerangkan bahwa Islam itu muncul sebelum para penghayat kepercayaan itu ada di Indonesia.
“Ini harus kita luruskan, karena manusia seperti ini tidak paham dengan fitrahnya bertauhid kepada Allah. Fitrah manusia ini diciptakan Allah bertauhid, cuma karena kemudian melakukan kesyirikan karena pengaruh luar, dari orang tua yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau penyembah pohon dan sebagainya, mereka lupa bertauhid,” tandasnya.
Sementara itu, Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) pernah menyebut bahwa penghayat kepercayaan di Indonesia berjumlah sekitar 12 juta orang. Dan ucapan MK terhadap Islam adalah agama asing kata Ustadz Iim sebuah penghinaan bagi bangsa Indonesia.
“Ucapan Islam sebagai agama asing bagi bangsa Indonesia ini sebenarnya menghina pada diri bangsa Indonesia,” ujar dia.
Ustadz Iim menyoroti jika para penghayat kepercayaan saat meninggal tidak boleh di prosesi secara Islam karena jelas tidak beragama Islam atau yang lain. Dia menilai keputusan Mahkamah Konstitusi tidak tepat.
“Iya pastinya seperti itu, karena tidak beragama Islam atau yang lainnya. Ini tindakan keliru, dan MK seharusnya tidak mengambil kebijakan seperti itu,” tuturnya. [SY]