SERAM BAGIAN TIMUR, (Panjimas.com) – Baru pada Senin pagi, 6 November 2017, kabar duka itu tersampaikan ke Muhammad Subki. Innalillahi wainna ilaihi roji’uun, pada Ahad (5/11) malam sekira pukul 22.00 WIB, ayahanda Subki wafat di Tanah Rencong.
Subki terlambat menerima berita kepergian ayahnya, lantaran ia tengah tenggelam dalam medan tugas di kawasan blankspot. Tiada sinyal di Desa Salas, Kec Bula, Kab Seram Bagian Timur, Maluku, tempatnya mengabdi sebagai da’i.
Muhammad Subki salah satu dari 103 sarjana angkatan ke-7 Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah (STID) Moh Natsir yang diwisuda di Gedung Menara Dakwah Jl Kramat 45 Jakarta Pusat pada akhir September lalu.
Bersama M Ridhoi dan Miftahul Huda, da’i sarjana asal Aceh ini kemudian ditempatkan sebagai da’i di Provinsi Maluku. Tiba di Ambon pada medio Oktober 2017, Subki kemudian ditempatkan di Desa Salas. Butuh sedikitnya 12 jam perjalanan darat dan laut dari Ambon untuk mencapai desa tersebut.
Apa hendak dikata, jika sudah suratan takdir. Belum genap sebulan bertugas di pedalaman nan jauh dari kampung halaman, Subki harus menerima kabar duka. Ayahnya wafat. Maka pada Senin (6/11) Muhammad Subki minta ijin kepada Ketua Dewan Dakwah Maluku, Ustadz Abu Imam Rumbara, untuk cuti pulang kampung.
Da’i muda itu pasrah, tak akan sempat memandang untuk terakhir kalinya wajah sang ayah. Namun setidaknya ia masih bisa berdoa di tepi pusaranya.
Didin, senior Subki di STID M Natsir yang menyampaikan kabar duka itu secara berantai kepada Subki, juga mengalami hal yang hampir sama. Pengalaman tersebut terjadi saat ia sedang bertugas sebagai da’i di Pulau Komodo, Kab Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, tahun 2014.
Pada Kamis, 25 Desember 2014, Didin mendapat kabar dari keluarganya bahwa ibunda mereka sedang dalam kondisi kritis (naza’). Bergegas pada hari itu juga, Didin mencari tumpangan kapal turis dari Pulau Komodo menuju Labuan Bajo. Dari sini dilanjutkan dengan naik pesawat terbang menuju Kupang, kemudian lanjut ke Surabaya.
Biasanya, tidak ada pemberangkatan kapal dari Komodo ke Labuan Bajo pada Kamis. Namun bismillah, Didin yakin Kamis ini akan luar biasa baginya.
Saat menunggu tumpangan kapal di Dermaga Komodo, Didin mendapat telepon dari kakaknya. Sambil terisak, sang kakak di ujung ponsel memperdengarkan suara nafas ibunda yang tengah naza’. Sambil berleleh airmata, Didin pun berusaha men-talqin ibunya via ponsel.
Alhamdulillah, akhirnya ada juga sebuah kapal yang akan bertolak ke Labuan Bajo. Didin pun menumpanginya, untuk mengarungi lautan selama 5 jam perjalanan.
Kamis malam, Didin sudah standby di Bandara Labuan Bajo. Ia akan menaiki pesawat ke Kupang pada Jumat pukul 8 pagi.
Namun jelang subuh Jumat itu, kabar duka datang dari ayahnya di desa. Innalillahi wainna ilaihi roji’uun, ibunya telah wafat. ‘’Bagaimana Nak, apakah pemakaman ibumu menunggu kedatanganmu?’’ tanya sang ayah melalui ponsel.
Didin tercekat. Hening sejenak, sebelum ia memutuskan untuk menyegerakan pemakaman ibunya. Walaupun tanpa kehadirannya untuk kali terakhir memandangi wajah perempuan yang telah melahirkannya itu. ‘’Sesuai syariat, sebaiknya jasad ibu segera dimakamkan saja Pak. Toh kedatangan saya tak akan mengubah keadaan,’’ tutur Didin sambil terisak.
Jum’at (26/12/2014), sekira pukul 8 pagi, ibu Didin dimakamkan. Sedang Didin baru tiba di kampung halamannya jelang Maghrib. Tak sempat dia mencium kening ibunya untuk yang terakhir di dunia. (des)