JAKARTA (Panjimas.com)– Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan gugatan uji materi (judicial review) atas Pasal 61 ayat 1 dan 2 serta Pasal 64 ayat 1 dan 5 Undang-undang (UU) tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang diajukan oleh sejumlah penghayat kepercayaan.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Dengan demikian, Penghayat kepercayaan dipastikan akan masuk dalam kolom administrasi kependudukan (adminduk), yakni kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP).
Dalam putusannya, MK menyatakan kata agama dalam Pasal 61 ayat 1 dan 64 ayat 1 UU 24/2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk kepercayaan.
Begitu juga Pasal 61 ayat 2 dan Pasal 64 ayat 5 yang menurut mahkamah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.“Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” tambah Arief.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat kedua pasal memperlakukan warga negara secara berbeda. Hal ini bertentangan dengan Pasal 27 dan 28 UUD 1945 terkait kedudukan masyarakat di depan hukum.
“Seperti Pasal 61 ayat 1 dan 2 melalui kata atau istilah agama jika dihubungkan dengan Pasal 64 ayat 5 bertentangan dengan prinsip gagasan negara hukum,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Pasal-pasal tersebut dinilai juga pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hingga penafsiran yang berbeda. Bahkan sampai pada ketidakkonsistenan dengan norma lain yang ada dalam UU. “Hal ini menimbulkan akibat warga negara kesulitan memperoleh KK (kartu keluarga-red) maupun KTP-el (KTP elektronik),” tambah Saldi.
“Kami sangat senang karena telah tercapainya kepercayaan itu diakui pemerintah dan ruang lingkupnya untuk pekerjaan anak-anak saya telah terbuka,” ujar Arnol Purba, salah seorang pemohon uji materi UU Administrasi Kependudukan, di Gedung MK, Jakarta Selasa 7 November 2017.
Selain Arnol, pemohon uji materi juga berasal dari pemeluk kepercayaan lain di sejumlah daerah di Indonesia seperti Komunitas Merapu (Sumba Timur, Pulau Sumba), Komunitas Parmalim (Sumatera Utara) serta Sapto Darmo (Brebes, Jawa Tengah).
Penjelasan MK
Mahkamah Konstitusi (MK) meminta agar dalam penulisan kartu keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP), kolom yang menunjukkan keterangan agama cukup ditulis penghayat kepercayaan, tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang jenis dari kepercayaan tersebut.
“Hanya mencatatkan yang bersangkutan sebagai penghayat kepercayaan, tanpa merinci kepercayaan yang dianut dalam KK maupun KTP elektronik,” tutur Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan pokok permohonan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Saldi mengatakan, pertimbangan mahkamah terkait mekanisme pencatatan ini lebih pada antisipasi akan banyak dan beragamnya jenis penghayat kepercayaan di Indonesia. Dengan adanya pembatasan hanya menuliskan kepercayaan dalam kolom agama, tertib administrasi kependudukan tetap bisa terwujudkan.
Menanggapi putusan ini, Menteri dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dalam keterangan persnya, Selasa (7/11/2017)mengakui akan melaksanakan putusan MK yang dianggap bersifat final dan mengikat.
Setelah putusan MK, kata dia, Kemendagri akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendapatkan data kepercayaan yang ada di Indonesia. Menurutnya, Kemendagri melalui Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil akan memasukan kepercayaan tersebut dalam sistem administrasi kependudukan.
Berikutnya, kata Tjahjo, setelah pihaknya mendapatkan data kepercayaan, pihaknya akan memperbaiki aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) dan aplikasi data base serta melakukan sosialisasi ke seluruh Indonesia. “Kemendagri akan mengajukan usulan perubahan kedua UU Adminduk untuk mengakomodir putusan MK,” tuturnya. (desastian)