GAZA, (Panjimas.com) – Presiden Palestina Mahmoud Abbas akhir paruh Oktober lalu mengumumkan penolakannya terhadap kehadiran “milisi-milisi” di wilayah Jalur Gaza, yang sejak 2007 telah dikelola oleh gerakan perlawanan Hamas.
Dalam sebuah wawancara dengan kantor berita resmi China, Xinhua pada hari Senin (23/10), Mahmoud Abbas mengatakan bahwa kepemimpinan Palestina “tidak ingin mengulangi model yang tidak berhasil yang memungkinkan milisi beroperasi di Gaza”, dikutip dari Anadolu.
“Harus ada satu otoritas di Gaza: satu hukum dan satu senjata,” pungkas Abbas.
“Tidak ada tempat untuk kehadiran milisi”, tegasnya.
Beberapa faksi Palestina mempertahankan sayap militer di Gaza, yang paling terkenal adalah Brigade Ezzedine al-Qassam Hamas dan Brigade Al-Quds Jihad Islam.
Menyusul penandatanganan baru-baru ini di Kairo tentang kesepakatan rekonsiliasi penting antara Hamas dengan Fatah, Hamas berulang kali mengatakan bahwa pemeliharaan sayap bersenjata – dan senjata berat – “tidak untuk didiskusikan”.
Abbas juga mengatakan kepada Xinhua bahwa dia menolak “semua campur tangan asing dalam urusan internal Palestina”.
“Tidak ada yang harus mencampuri urusan dalam negeri kami, karena kami tidak ikut campur dalam urusan negara lain,” pungkasnya.
“Kami meminta agar semua bantuan dari belahan dunia lain dikirim melalui Otoritas Palestina [Ramallah] [PA],” tambahnya.
Abbas, yang menjabat sebagai Ketua Fatah dan PA (Otoritas Palestina) yang dipimpin Fatah, memuji kesepakatan rekonsiliasi baru-baru ini yang ditandatangani dengan Hamas, yang menggambarkannya sebagai “langkah maju”.
“Kesepakatan itu memiliki semua bahan untuk rekonsiliasi,” ungkapnya. “Sekarang kita pindah ke tahap implementasi.”
“Perpecahan internal yang dimulai 10 tahun yang lalu setelah kudeta Hamas di Gaza telah sangat merugikan kepentingan Palestina,” tegasnya.
“Tapi sekarang kita bergerak menuju rekonsiliasi,” tambahnya.
“Para Menteri pemerintah dari Tepi Barat sedang mengunjungi Gaza dengan tujuan untuk mengambil bertanggung jawab atas daerah tertsebut di bawah kekuasaan satu negara.”
Pada 12 Oktober, Hamas dan Fatah menandatangani sebuah kesepakatan rekonsiliasi penting di Kairo.
Proses rekonsiliasi, menurutKepala Biro Politik Hamas, Ismael Haniyeh menegaskan, menyerahkan 3 sumbu: 1) administrasi Tepi Barat dan Gaza melalui pemerintah persatuan nasional yang berasal dari pemilihan parlemen dan presiden; 2) sebuah re-organisasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO); dan 3) pengembangan PLO untuk memungkinkan partisipasi semua rakyat Palestina.
Kesepakatan tersebut memberikan mandat pada pemerintah persatuan Palestina berbasis Ramallah untuk mengambil tanggung jawab politik dan administratif atas Jalur Gaza, yang selama sepuluh tahun terakhir telah dijalankan oleh Hamas.
Wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel dan Jalur Gaza yang diblokade terbagi secara politis sejak 2007, ketika Hamas merebut kendali jalur tersebut dari Abbas yang dipimpin Fatah.
Tepi Barat dan Jalur Gaza telah terbagi secara politis dan administratif sejak tahun 2007, ketika Hamas merebut kendali wilayah Jalur Gaza dari Fatah setelah beberapa hari pertempuran jalanan, pasca kemenagan dalam pemilihan umum.
Kendali Hamas terhadap Gaza pada tahun 2007 mengakhiri pemerintahan persatuan sebelumnya – pemerintahan yang berumur pendek, didirikan setelah Hamas men menyapu bersih suara dalam pemilu legislatif Palestina 2006.[IZ]