ASTANA, (Panjimas.com) – Kubu Oposisi Suriah menginginkan Pasukan Garda Revolusi Iran [IRGC] dan Milisi-Milisi Syiah untuk segera meninggalkan negara tersebut, demikian pernyataan seorang pemimpin oposisi bersenjata, Senin (30/10).
Mengutip laporan Anadolu, Fatih Hassun mengatakan, “Kami menginginkan Garda Revolusi Iran dan Milisi-Milisi Syiah untuk keluar dari negara tersebut. Juga, kami ingin kelompok-kelompok separatis Kurdi diadili atas kejahatan mereka. Kami akan membawa hal ini ke dalam perhatian PBB.”
Pernyataan Fatih Hassun disampaikan di ibukota Kazakhstan, Astana, pada hari pertama perundingan perdamaian putaran ketujuh yang bertujuan mengakhiri konflik Suriah.
Hassun mengatakan perwakilan delegasi oposisi yang menghadiri perundingan di Astana akan mengajukan beberapa dokumen kepada PBB yang akan membantu menyingkirkan teroris asing yang didukung oleh Iran, dan menahan organisasi teroris PKK / PYD yang bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.
Perundingan tersebut, akan fokus pada penguatan gencatan senjata yang mulai berlaku pada 30 Desember, yang ditengahi oleh Turki, yang mendukung oposisi, bersama dengan Rusia dan Iran, yang mendukung rezim Bashar al-Assad.
Perwakilan rezim Assad, kelompok oposisi bersenjata, serta delegasi dari PBB, Yordania, dan A.S. turut hadir dalam perundingan putaran ke-7 tersebut.
Pertemuan yang dijadwalkan selama dua hari tersebut juga akan membahas mengenai pembebasan tahanan dan sandera, serta tindakan kemanusiaan terhadap ranjau darat.
Hassun mengatakan: “Setelah dibebaskannya sandera, kami ingin diakhirinya pengepungan dan dibkanya akses terhadap bantuan kemanusiaan.”
Dia menambahkan bahwa tiap kubu memiliki agenda “berbeda” dalam perundingan Astana, dengan mengatakan: “Agenda Rusia adalah untuk mendapatkan keuntungan yang menguntungkan rezim. Iran akan menghentikan pertemuan Astana.”
Hassun mengatakan bahwa mereka juga akan mengajukan dokumen-dokumen ke PBB mengenai pelanggaran-pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa. [IZ]