NEW YORK, (Panjimas.com) – Pelapor Khusus Myanmar Yanghee Lee menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan sebuah “resolusi yang sangat jelas” mengenai krisis Muslim Rohingya di Myanmar, menurut Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, UN Human Rights High Commissioner (OHCHR).
Sangat penting bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia diadili, kata Yanghee Lee pada hari Kamis (26/10) sesuai dengan pernyataan yang dipublikasikan di situs resmi OHCHR.
Yanghee Lee berbicara dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York, saat mempresentasikan laporannya tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar.
Lee menunjukkan meluasnya penggunaan ujaran serta provokasi kebencian terhadap komunitas Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine bagian Barat, Ia menekankan bahwa hal itu berarti hasutan permusuhan dan bahkan tindak kekerasan.
“Ini telah dibudidayakan selama beberapa dekade di benak rakyat Myanmar bahwa Rohingya tidak menjadi penduduk asli negara tersebut dan oleh karena itu [Rohingya] tidak memiliki hak apapun yang dapat mereka klaim,” jelas Lee, seperti dilansir Anadolu Ajensi.
Dia juga mendesak akses penuh untuk Tim Misi Pencari Fakta [TPF] Hak Asasi Manusia di negara bagian Rakhine.
Lee juga menyebutkan laporan tentang insiden intoleransi agama terhadap para pemeluk Kristen dan Muslim di Myanmar.
Ia juga meminta pemerintah Myanmar “untuk secara terbuka merangkul semua masyarakat” dan juga “untuk membatalkan semua undang-undang yang diskriminatif”, untuk menunjukkan bahwa semua kelompok di Myanmar memiliki hak-hak yang sama .
“Menurut saya, legislasi nasional secara efektif menghasilkan kriminalisasi ekspresi secara sah,” ujar Pakar HAM PBB itu.
Lebih dari 600.000 Muslim Rohingya Mengungsi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menuding Myanmar mengizinkan pasukan militernya untuk terlibat dalam operasi pembersihan etnis terhadap Muslim Rohingya.
Badan-Badan bantuan kemanusiaan telah memperingatkan bahwa ada kekhawatiran nyata bahwa anak-anak yang rentan tersebut dapat menjadi korban-korban pelecehan ataupun perdagangan manusia.
Para pengungsi Rohingya melarikan diri dari operasi militer di Myanmar di mana tentara dan gerombolan ektrimis Buddha membunuh laki-laki, perempuan dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah-rumah mereka dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Sejak 25 Agustus lalu, saat Militer melancarkan operasi brutalnya terhadap penduduk Rohingya, 603.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari negara bagian Rakhine menuju ke wilayah Bangladesh, menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR.
Ini adalah gerakan “terbesar dan tercepat” dari populasi sipil di Asia sejak tahun 1970an, demikian pernyataan PBB.
Beberapa pakar PBB beberapa pekan lalu mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan “semua kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya dan menghentikan penganiayaan yang sedang berlangsung serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius”.
Seruan yang dibuat oleh 7 pelapor khusus PBB yang menangani hak asasi manusia tersebut muncul di laman situs resmi Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR).
Pakar PBB menyatakan terdapat berbagai tuduhan yang kredibel atas pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran serius. Para ahli juga mengatakan Myanmar harus memberikan “akses kemanusiaan secara bebas” kepada organisasi internasional untuk membantu pengungsi di internal Rakhine.
Pernyataan bersama tersebut juga menyebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia itu mencakup pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekerasan, perlakuan sewenang-wenang dan perlakuan sewenang-wenang yang berlebihan, kekerasan seksual dan berbasis gender, dan penculikan paksa, “serta pembakaran dan penghancuran lebih dari 200 desa-desa Rohingya dan puluhan ribu rumah “.
Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dibantai dalam tindakan brutal Militer Myanmar.
Secara keseluruhan, lebih dari 800.000 pengungsi Rohingya sekarang diyakini berada di Bangladesh.[IZ]