JAKARTA, (Panjimas.com) – Menyikapi situasi dan kondisi setelah disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi Undang-Undang oleh DPR RI, maka Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama dan ormas-ormas Islam menyatakan sikapnya.
“Pertama bahwa ajaran Islam mewajibkan menentang dan mencegah setiap kezaliman maupun kemunkaran yang terjadi,” kata Pembina GNPF Ulama KH. Abah Roud Bahar, di Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Senin (30/10/2017).
Kedua, KH. Abah Roud Bahar melanjutkan bahwa GNPF Ulama melihat dari sudut aspek konstitusional, proses politik yang melahirkan peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat diterima sebagai proses politik yang dibenarkan menurut ukuran legal formal konstitusional. “(Karena) tidak terpenuhinya unsur syarat-syarat untuk dapat diterbitkannya sebuah Perppu,” lanjutnya.
Tidak hanya itu, dalam proses politik pengesahan Perppu menjadi Undang-Undang terkesan telah terjadi pemaksaan dari rezim yang tengah berkuasa. GNPF Ulama menduga bahwa rezim yang berkuasa akan menggunakan Perppu tersebut sebagai senjata mengekang kebebasan. Padahal, hal tersebut bertentangan dengan Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.
“Ketiga, GNPF Ulama dan ormas-ormas Islam memandang bahwa substansi dari Perppu yang telah disahkan menjadi undang-undang tersebut sangat merugikan umat Islam karena cenderung ditujukan untuk membatasi dan mengekang dakwah Islam sekaligus ingin memadamkan cahaya agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala,” tegasnya.
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka…” [QS. At Taubah (9): 32]
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka…” [QS. As-Saff (61): 8]
Berdasarkan tiga hal tersebut, GNPF Ulama dan ormas Islam menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia agar tidak mendukung dan tidak memilih partai-partai yang telah menyetujui Perppu menjadi Undang-Undang baik dalam Pilkada, Pileg, maupun Pilpres.
Seruan kedua, yaitu agar selalu waspada terhadap kemungkinan terburuk yang diakibatkan oleh UU tersebut.
“Ketiga, melakukan perlawanan melalui mekanisme legal konstitusional,” tandasnya.[DP]