JAKARTA (Panjimas.com) – Sabtu (20/10), Pemerintah telah resmi menaikkan tarif cukai rokok 2018 sebesar 10%. Terdapat empat aspek pemerintah dalam menaikkan tariff cukai hasil tembakau.
Pertama, kenaikan cukai rokok ini telah memperhatikan pandangan masyarakat terutama dari aspek kesehatan dan konsumsi rokok yang harus dikendalikan.
Kedua, kenaikan cukai rokok ini harus bisa untuk mencegah makin banyaknya rokok ilegal. Ketiga, kenaikan ini juga memperhatikan dampaknya terhadap kesempatan kerja, terutama pada petani dan buruh rokok. Keempat, terkait peningkatan penerimaan negara.
Komunitas Kretek dan Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) menilai kebijakan tersebut sangat kontra-produktif, mengingat besaran kenaikan tariff cukai rokok sebesar 10% sangatlah tinggi. Sebelumnya, Industri Hasil Tembakau (IHT) dan konsumen terus-menerus dibebani dengan kenaikan cukai yang terlalu tinggi seperti yang terjadi di tahun 2016 yang mencapai 11,19% dan 10.5% di tahun 2017. Belum lagi beban pajak sudah mencapai 60% harga rokok (termasuk pajak rokok dan PPN Hasil Tembakau).
Melihat dampak nyata dari pemerintah menaikkan tarif cukai rokok yang eksesif, seperti banyaknya unit usaha IHT yang bertumbangan, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tinggi, hingga penerimaan negara dari sektor cukai yang tidak tercapai. Maka empat aspek yang menjadi alasan pemerintah dalam menaikkan tarif cukai rokok terdengar tidak masuk akal.
Aspek kesehatan misalnya, dalih kesehatan sering menjadi kedok untuk mendorong pemerintah dalam kebijakan cukai.Alih-alih pendapatan negara akan bertambah jika skema kenaikan tariff cukai dilaksanakan, justru tidakpernah ada gambaran riil berapa pendapatan negara yang akan bertambah dan berapa potensi kehilangannya.
“Seharusnya, jika negara betul-betul mau memperhatikan kesehatan masyarakat, pemerintah perlu memastikan ketersediaan ruang merokok di tempat umum agar orang yang tidak merokok tak lagi terganggu. Selama ini persoalan kesehatan kerap dijadikan alasan, tapi ruang merokok yang menjadisolusi agar takada orang yang terpapar asap rokok tidak pernah secara serius disediakan,” ungkap Ketua Komunitas Kretek, Aditia Purnomo.
Aspek kedua persoalan rokok ilegal, dengan menaikkan tariff cukai rokok asumsi bahwa angka peredaran rokok illegal dapat ditekan. Justru sebaliknya, kenaikan cukai selalu diiringi dengan bertambahnya angka peredaran rokok ilegal.
Pada tahun 2015 ketika cukai kembali naik dengan rata-rata sebesar 8,72%, penindakan rokok illegal oleh Bea Cukai terdapat 1.232 kasus atau naik 1,5 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2014. Sementara pada tahun 2016 cukai rokok kembali naik sebesar 11,19%, penindakan rokok ilegal kembali meningkat, terdapat penindakan rokok ilegal sebanyak 1.597 kali.
Aditia Purnomo mengungkapkan, kenaikan cukai rokokyang kelewat tinggi selalu berbanding lurus dengan meningkatnya penjualan rokok ilegal.
“Tahu karena apa? Itu semua karena hargar okok menjadi mahal dan konsumen tak sanggupbeli yang berpita cukai. Akhirnya, konsumen memilih mengonsumsi rokok ilegal yang katanyamerugikannegaraitu.Tapi au bagaimana lagi, negara memang tidak pernah memperhatikan nasib konsumen,” ungkapnya.
Ia menambahkan, ketika terjadi kenaikan cukai seberapapun tingginya, tidak akan mengurangi jumlah perokok secara signifikan. “Masyarakat kita kreatif, kalau tidak mampu beli yang mahal cari yang murah. Kalau tidak, mereka bisa meminta rokok daritemannya yang mampubeli. Jadi omong kosong semua anggapan jikacukai tinggi jumlah perokok turun.Yang ada hanya daya beli turun, dan mereka mencari alternatif untuk konsumsi rokok,” tambahnya.
Aspek ketiga kenaikan cukai rokok diperuntukka nmelindungi petani dan buruh di sektor IHT. Pernyataan tersebut sangatlah konyol mengingat justruk kebijakan menaikan cukai rokok berdampak kepada pengurangan ke tenagakerjaan di sektor hasil tembakau.
Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan mengungkapkan, jumlah pabrik rokok pada 2006 sebanyak 4.669 hingga saat ini menurun drastis hanya tinggal 500 pabrik. Industri yang gulung tikar adalah industry kecil menengah (produsen rumahan, pabrikankecil). Gulung tikar unit usaha IHT ini berpotensi meningkatkan pemutusan hubungankerja (PHK) massal hingga 15 ribu tenaga kerja.
“Keniscayaan bahwa petani tembakau dan buruh linting serta buruh pabrik kretek yang dengan mesin sekalipun menyerap banyak tenaga kerja tidak dapat begitu saja dialihkan dengan sumber penghidupan yang lain. Program pengalihan itu telah berjalan selama 10 tahun kalau mengacu UU Cukai 2007, tapi tetap saja program itu hingga kini belum ada hasil apapun. Entah mengapa masih saja mau diterus-teruskan pendapat seperti itu,” ungkap Zulvan Kurniawan
Aspek keempat penerimaan negara. Alasan penerimaan negara selalu menjadi alasan paling krusial, bahwasebenarnya selain cukai rokok tidak ada lagi sumber pendapatan pemerintah yang bisa memberikan dana segar dalam waktu cepat.
“Karena, berharap dari komoditi non-migas ataupun dari komoditi migas tidak ada yang secepat pabrik rokok dalam memberikan dana kepada pemerintah,” ungkap Zulvan Kurniawan.
Dan yang terpenting, ketika pemerintah terus-menerus menggenjot cukai rokok sebagai penerimaan negara, pengembalian hak pemanfaatan cukai rokok oleh pembayar cukai atau konsumen selalu diabaikan oleh pemerintah. Salah satunya adalahpenyediaan ruang merokok bagi perokok.
Secara hukum penyediaan ruang merokok dalam kawasantan parokok harus disediakan oleh pemerintah, tapi terus terang sudah 5 tahun sampai hariini pemerintah tidak pernah memperhatikan hal itu.
Konsumen rokok sebagai mata rantai paling ujung adalahmereka rakyat kebanyakan yang ditindas oleh kebijakan cukai ini. Sehingga alokasi dana pajakdan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) tak jelas kemana larinya dan untuk apa pemanfaatannya. (des)