JENEWA, (Panjimas.com) – Seorang juru bicara Badan Hak Asasi Manusia PBB Jumat (13/10) mengatakan bahwa para pengungsi Muslim Rohingya yang berasal Myanmar meminta dikerahkannya pasukan penjaga perdamaian PBB untuk melindungi mereka dari kekerasan brutal di Rakhine.
Rupert Colville menjalaskan bahwa ada “kebutuhan nyata bagi masyarakat internasional, apakah Dewan Keamanan PBB, negara secara individu atau lebih, untuk benar-benar menemukan jalan keluar dari situasi ini, dan satu-satunya solusi yang mungkin adalah bahwa Rohingya diperbolehkan untuk kembali ke rumahnya.”
Colville juga mengatakan harus ada respon politik dan keamanan terhadap kekerasan Myanmar: “Agar aman, pengungsi Rohingya menginginkan adanya operasi pasukan penjaga perdamaian”, seperti dilansir Anadolu Ajensi.
“Masyarakat internasional perlu mengatasinya. Ini adalah situasi yang sangat serius, Anda tidak bisa membiarkan seluruh populasi etnis diusir [dibersihkan etnisnya] ke negara-negara tetangga,” pungkas Colville.
“Jelas, harus ada tindakan internasional. Yang menarik, beberapa pengungsi menyoroti bahwa mereka ingin memiliki kewarganegaraan dan keamanan penuh untuk kembali ke negara bagian Rakhine [di Myanmar],” tandasnya.
Sejauh ini, PBB belum mempertimbangkan untuk mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Myanmar untuk mengakhiri kekerasan tersebut, walaupun ada banyak laporan yang mengatakan bahwa serangan terhadap Muslim Rohingya merupakan operasi kampanye terpadu yang terorganisir dengan baik yang secara eksplisit dimaksudkan untuk mengusir mereka keluar dari negara tersebut ke Bangladesh dan menghalang-halangi mereka kembali.
Operasi kemanusiaan beberapa Badan PBB, termasuk UNICEF, telah dihentikan di negara bagian Rakhine Utara karena masalah kekerasan dan keamanan.
Para pengungsi Rohingya melarikan diri dari operasi militer di Myanmar di mana tentara dan gerombolan ektrimis Buddha membunuh laki-laki, perempuan dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah-rumah mereka dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Sejak 25 Agustus lalu, saat Militer melancarkan operasi brutalnya terhadap penduduk Rohingya, 536.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari negara bagian Rakhine menuju ke wilayah Bangladesh, menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR.
Ini adalah gerakan “terbesar dan tercepat” dari populasi sipil di Asia sejak tahun 1970an, demikian pernyataan PBB.
Beberapa pakar PBB beberapa pekan lalu mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan “semua kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya dan menghentikan penganiayaan yang sedang berlangsung serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius”.
Seruan yang dibuat oleh 7 pelapor khusus PBB yang menangani hak asasi manusia tersebut muncul di laman situs resmi Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR).
Pakar PBB menyatakan terdapat berbagai tuduhan yang kredibel atas pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran serius. Para ahli juga mengatakan Myanmar harus memberikan “akses kemanusiaan secara bebas” kepada organisasi internasional untuk membantu pengungsi di internal Rakhine.
Pernyataan bersama tersebut juga menyebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia itu mencakup pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekerasan, perlakuan sewenang-wenang dan perlakuan sewenang-wenang yang berlebihan, kekerasan seksual dan berbasis gender, dan penculikan paksa, “serta pembakaran dan penghancuran lebih dari 200 desa-desa Rohingya dan puluhan ribu rumah “.
Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dibantai dalam tindakan brutal Militer Myanmar.
Secara keseluruhan, lebih dari 800.000 pengungsi Rohingya sekarang diyakini berada di Bangladesh. [IZ]