DHAKA, (Panjimas.com) – Para warga Bangladesh pada hari Rabu (11/10) lalu membentuk sebuah Komisi untuk menyelidiki genosida di negara bagian Rakhine Myanmar Barat yang kemudian memaksa lebih dari 519.000 penduduk Rohingya terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka.
Komisi Penyelidikan Genosida Rohingya tersebut beranggotakan 35 orang dan dipimpin oleh seorang mantan Hakim Agung Shamsul Huda, dan termasuk 2 mantan Panglima Militer.
Shamsuddin Chowdhry, anggota Komisi tersebut, mengatakan bahwa mereka akan menciptakan kesadaran internasional mengenai masalah tersebut untuk menekan pemerintah Myanmar.
“Pekerjaan kami adalah pertama-tama menghentikan penyiksaan pada pengungsi Rohingya, dan kemudian menciptakan lingkungan yang mendukung bagi mereka untuk kembali ke rumah-rumahnya,” pungkasnya, dilansir dari Anadolu.
Chowdry menambahkan: “Terakhir, kami menginginkan hukuman bagi mereka yang melakukan kejahatan-kejahatan ini.”
Chowdhry mengatakan bahwa Rohingya telah tinggal di Rakhine untuk waktu yang sangat lama, namun pada tahun 1982 sebuah undang-undang menghapus status kewarganegaraan mereka.
“Kami akan segera pergi ke Cox’s Bazar [di mana sebagian besar pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar, tinggal] untuk mengambil tanda tangan dan pernyataan orang-orang yang menjadi korban,” imbuhnya.
Chowdry menambahkan bahwa pihaknya mungkin akan pergi ke Jenewa pada bulan Desember, dan mendesak PBB dan organisasi-organisasi kemanusiaan lainnya untuk membentuk sebuah komisi penyelidikan internasional.
Chowdhry menuturkan bahwa jika masyarakat internasional mengabaikan Muslim Rohingya, mereka mungkin saja akan mengarah pada militansi dan terorisme – sesuatu yang akan mempengaruhi seluruh wilayah Asia Tenggara dan dunia.
Para pengungsi Rohingya melarikan diri dari operasi militer di Myanmar di mana tentara dan gerombolan ektrimis Buddha membunuh laki-laki, perempuan dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah-rumah mereka dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Sejak 25 Agustus lalu, saat Militer melancarkan operasi brutalnya terhadap penduduk Rohingya, 519.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari negara bagian Rakhine menuju ke wilayah Bangladesh, menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR.
Ini adalah gerakan “terbesar dan tercepat” dari populasi sipil di Asia sejak tahun 1970an, demikian pernyataan PBB.
Seruan yang dibuat oleh 7 pelapor khusus PBB yang menangani hak asasi manusia tersebut muncul di laman situs resmi Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR).
Beberapa pakar PBB beberapa pekan lalu mengeluarkan pernyataan bersama yang mendesak pemerintah Myanmar untuk menghentikan “semua kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya dan menghentikan penganiayaan yang sedang berlangsung serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius”.
Pakar PBB menyatakan terdapat berbagai tuduhan yang kredibel atas pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran serius. Para ahli juga mengatakan Myanmar harus memberikan “akses kemanusiaan secara bebas” kepada organisasi internasional untuk membantu pengungsi di internal Rakhine.
Pernyataan bersama tersebut juga menyebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia itu mencakup pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekerasan, perlakuan sewenang-wenang dan perlakuan sewenang-wenang yang berlebihan, kekerasan seksual dan berbasis gender, dan penculikan paksa, “serta pembakaran dan penghancuran lebih dari 200 desa-desa Rohingya dan puluhan ribu rumah “.
Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya tewas dibantai dalam tindakan brutal Militer Myanmar.
Secara keseluruhan, lebih dari 800.000 pengungsi Rohingya sekarang diyakini berada di Bangladesh.[IZ]