JAKARTA, (Panjima.com) – “Sejak kapan Islam mengenal ‘Nabi Bayangan’? Islam mengajarkan, nabi yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW. Titik. Tidak ada itu, Mirza Ghulam Ahmad sebagai ‘Nabi Bayangan’. Keyakinan Ahmadiyah itu sudah menjelaskan secara nyata kesesatannya.”
Demikian komentar Ketua Umum Dewan Dakwah, Mohammad Siddik, kepada wartawan usai mengikuti sidang Judicial Review (uji materi) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa, 10 Oktober 2017.
Sidang menghadirkan dua saksi ahli dari pihak penggugat yakni Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Prof Mochammad Qasim Mathar, dan Director of Moderate Muslim Society Zuhairi Mishrawi.
Sedang Dewan Dakwah sebagai Pihak Terkait menghadirkan Tim Advokat untuk Perjuangan Dewan Dakwah yang terdiri Ahmad Leksono (Koordinator), Ikhsan Setiawan, Novel, HM Sani Alamsyah, dan H. Mulyadi.
Turut hadir Ketua Umum Dewan Dakwah Mohammad Siddik, didampingi Sekretaris Umum Avid Solihin, Wakil Ketua Umum Amlir Syaifa Yasin, Ketua Pusat Kajian Dewan Dakwah HM Amin Djamaluddin, Ketua Bidang Ghazwul Fikri & Harakah Hadamah HT Romli Qomaruddien, Sekretaris Majelis Fatwa & Pusat Kajian Syamsul Bahri, dan Humas Dewan Dakwah Yuddy Ardhi.
Materi yang diujikan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi yang diketuai Hakim Arief Hidayat adalah UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Pasal 1 UU tersebut tegas melarang syiar penafsiran ‘sak udele dhewe’ tentang sesuatu agama. Selengkapnya berbunyi: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu”.
Menurut versi Ahmadiyah, Undang-Undang ini telah membatasi hak konstitusional mereka sebagai warga negara Indonesia dan ummat beragama. Maka, Ahmadiyah menuntut pembatalannya, karena telah menghalangi mereka mensyiarkan paham Ahmadiyah di Indonesia.
Menjelaskan keyakinan Ahmadiyah, dalam persidangan Qasim Mathar mengklaim Mirza Ghulam Ahmad adalah ‘Nabi Bayangan’ dalam teologi Ahmadiyah. Sebelumnya, dalam sebuah diskusi di Lecture Theater UIN Alauddin (21/06/2012), profesor satu ini berucap antara lain: “Yang mengaku menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad, ya terserah dia. itu tandanya dia mau direkam sejarah. Jadi biarkan saja.”
Sang Profesor juga menyatakan, Saudi Arabia bukan satu-satunya kiblat Islam. “Di sana mazhabnya Wahabi. Itu kebijakan masing-masing negara,” kata lelaki sepuh itu.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), menurut Qasim Mathar, bukan satu-satunya pedoman dalam menjalankan syariat Islam. “Fatwa MUI bukan patokan satu-satunya keislaman. Kita harus hormati yang lain di luar fatwa MUI, karena selalu ada kitab-kitab yang dihormati oleh masing masing penganut,” papar Qasim yang berpandangan bahwa Al Qur’an perlu direvisi.
Qasim yang pernah mengaku Syiah menandaskan, Syiah dan Ahmadiyah termasuk bagian dari agama Islam.
“Di planet bumi ini ada 3 peta atau mazhab besar kaum muslimin yaitu Muslim Sunni, muslim Syiah, dan muslim Ahmadiyah. Ketiganya adalah Islam. Di luar kesamaan-kesamaannya, tentu juga ada perbedaan-perbedaannya. Jadi biasa-biasa saja,” tuturnya.
Di pengadilan tersebut, Zuhairi Mishrawi menyatakan keberatannya atas putusan pemerintah yang menyatakan kesesatan Ahmadiyah. “Kesesatan bukan domainnya manusia atau MUI. Sesat atau tidak, itu domainnya Allah,” ujar aktivis liberal yang pernah mempersalahkan MUI karena berfatwa bahwa Ahok menista agama.
Menanggapi keterangan kedua saksi ahli, Dewan Dakwah justru mempertanyakan kapasitas mereka. Mohammad Siddik menilai, keterangan kedua saksi ahli yang mewakili kepentingan Ahmadiyah, mengandung banyak keganjilan dan melebar kemana-mana.
‘’Apakah mereka tahu bahwa Ahmadiyah di negara asalnya, Pakistan, merupakan ajaran yang dilarang? Demikian juga dilarang di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Apakah saksi ahli tahu bahwa lembaga yang berkompeten di Saudi melarang jamaah Ahmadiyah berhaji?’’ cecar Siddik.
Dewan Dakwah menegaskan bahwa UU Nomor 1/PNPS/1965 harus dipertahankan sebagai instrumen untuk meredam kegaduhan umat beragama seperti yang ditimbulkan Ahmadiyah.
‘’Ahmadiyah akan tetap menjadi sumber masalah karena mereka mengaku sebagai Islam tetapi ajaran-ajarannya menistakan ajaran Islam itu sendiri. Sudah ada buku pencerahan dari Kementerian Agama RI, tetapi sampai sekarang Ahmadiyah tidak bertobat dari keyakinan-keyakinan sesatnya,’’ tutur Siddik.
Menurut Koordinator Advokat untuk Perjuangan Dewan Dakwah, Ahmad Leksono, seharusnya MK tidak perlu menggubris lahi tuntutan Ahmadiyah.
“Ahmadiyah sudah beberapa kali melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk memperjuangkan keyakinannya, dan sejarah mencatat gugatan tersebut selalu ditolak. Dengan demikian seharusnya MK tidak lagi menggelar sidang atas hal yang sama yang diujikan saat ini,’’ jelas Ahmad. [RN]