COX BAZAR, (Panjimas.com) – Konflik Rohingya di negara bagian Rakhine Myanmar dinilai mengkonsolidasikan peran militer dalam politik, bahkan lebih jauh hal tersebut menghalangi transisi demokrasi di negara tersebut, demikian menurut pandangan seorang Ilmuwan Politik Amerika, seperti dilansir Anadolu.
Sejak 25 Agustus, sekitar 515.000 penduduk Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Rakhine ke Bangladesh, menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR.
Para pengungsi muslim Rohingya terpaksa melarikan diri dari operasi militer brutal di mana pasukan Myanmar dan gerombolan ektrimis Buddha membunuhi laki-laki, perempuan dan anak-anakRohingya, bahkan menjarah rumah-rumah dan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 Muslim Rohingya tewas dibantai dalam tindakan brutal tersebut.
Nehginpao Kipgen, Asisten Profesor dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Asia Tenggara dari Sekolah Kajian Hubungan Internasional JindaI di India, mengatakan bahwa kekerasan di Myanmar hanya menunjukkan fakta bahwa transisi menuju demokrasi secara sepenuhnya masih membutuhkan waktu beberapa dekade lagi.
“Kekerasan di Rakhine dan tantangan yang dihadapi dalam proses perdamaian pemerintah dengan kelompok bersenjata etnik di negara tersebut tampaknya menunjukkan bahwa Militer akan terus mengkonsolidasikan perannya dalam masalah politik dan keamanan”, ungkapnya, dilansir Anadolu.
“Dengan kata lain, transisi Myanmar menuju demokrasi penuh atau konsolidasi demokrasi akan memakan waktu bertahun-tahun lamanya, jika tidak bahkan puluhan tahun,” pungkasnya.
Kipgen melanjutkan penjelasannya bahwa isu Rohingya akan terus menimbulkan ancaman keamanan dan teritorial, kecuali masalah kewarganegaraan dan identitas tetap tidak terselesaikan.
Lebih lanjut Kipgen mengatakan bahwa rakyat Myanmar harus menyesuaikan diri dengan kenyataan ini.
“Penting juga bagi rakyat Myanmar untuk memahami bahwa tanpa menangani masalah mendasar mengenai permasalan Rohingya, seperti identitas dan kewarganegaraan, isu Rohingya akan terus menimbulkan ancaman keamanan dan teritorial,” jelasnya.
Dia mengingatkan, isu Rohingya juga akan menghambat proses perdamaian dan pembangunan bangsa.
“Mungkin sulit atau bahkan tidak mungkin bagi banyak rakyat Burma, termasuk militer dan kelompok ultra-nasionalis atau nasionalis untuk menerima Rohingya sebagai warga Myanmar,” imbuhnya.
“Masalah mendasarnya adalah bahwa baik pemerintah Myanmar maupun pemerintah Bangladesh tidak mau menerima Muslim Rohingya sebagai warganya sendiri”, paparnya.
Tentang krisis pengungsi yang sedang berlangsung, dia mengatakan bahwa pemerintah Myanmar dan pemerintah Bangladesh bersama dengan PBB dan anggota masyarakat internasional lainnya, harus memenuhi kebutuhan mereka.
Kipgen melihat solusi jangka panjang untuk teka-teki permaslahan Rohingya dalam pelaksanaan rekomendasi Komisi Fakta Kofi Annan.
“Pemerintah harus mengambil langkah nyata untuk mengakhiri pemisahan secara paksa etnis Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya, untuk mengatasi permasalahan “stateless” (tanpa kewarganegaraan) Rohingya, dan untuk mengakhiri pembatasan terhadap pergerakan komunitas Rohingya.”[IZ]