LONDON, (Panjimas.com) – Sebanyak 5.233 warga sipil telah terbunuh di Suriah sejak Rusia memulai serangan udara terhadap lawan-lawan rezim Assad pada 2015, menurut Syrian Network for Human Rights (SNHR) .
Korban tewas termasuk 1.417 anak-anak dan 886 perempuan, jelas Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SNHR) yang berbasis di London dalam pernyataannya Ahad (01/10).
SNHR mengatakan sebagian besar serangan udara Rusia telah menargetkan daerah-daerah yang dikuasai oposisi di Suriah.
“Hanya 15% serangan Rusia yang menargetkan daerah yang diduduki Islamic State (IS) di Suriah,” menurut laporan SNHR, dilansir dari Daily Sabah.
Menurut SNHR, Rusia menggunakan amunisi-amunisi kluster sebanyak 212 kali di Suriah, dengan alasan bahwa sebagian besar serangan telah terjadi di Provinsi Idlib, wilayah Barat Laut Suriah.
Laporan tersebut mengatakan bahwa serangan Rusia di Suriah telah memaksa 2,3 juta warga sipil untuk meninggalkan rumah-rumah mereka.
Perundingan Astana
Putaran pertama perundingan damai diadakan di ibukota Kazakhstan pada 23-24 Januari, setelah sebuah gencatan senjata pada 30 Desember.
Ibu kota Kazakhstan, Astana menjadi tuan rumah putaran kelima perundingan untuk menyelesaikan situasi konflik di Suriah dengan partisipasi rezim Assad dan pasukan oposisi bersenjata pada 4-5 Juli.
Selama pertemuan sebelumnya di Astana pada tanggal 4 Mei, negara penjamin – Rusia, Turki, dan Iran – menandatangani kesepakatan untuk menetapkan zona de-eskalasi di Suriah.
Pada hari Selasa (04/07), putaran kelima perundingan perdamaian dimulai di ibu kota Kazakhstan, Astana.
Pada tanggal 7 Juli, Lavrov mengumumkan Rusia, A.S dan Yordania telah menyetujui sebuah gencatan senjata di Suriah bagian barat daya – di Daraa, Quneitra dan Souweida. Ini mulai berlaku pada tanggal 9 Juli.
Putaran pertama perundingan damai diadakan di Astana pada 23 dan 24 Januari lalu, setelah gencatan senjata dicapai pada 30 Desember.
Perundingan Astana ini sedang diperantarai oleh Turki, yang mendukung oposisi Suriah, bersama dengan Rusia dan Iran, dimana keduanya mendukung rezim Assad.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa. [IZ]