XINJIANG, (Panjimas.com) – Pihak berwenang China di Xinjiang baru-baru ini kembali menerapkan kebijakan anti-Islam dengan memerintahkan para keluarga Muslim untuk menyerahkan barang-barangnya yang berbau keagamaan, seperti Kitab suci Al-Quran, Sajadah dan simbol-simbol Islam lainnya, seperti dilansir Daily Mail UK.
Minoritas Muslim di Xinjiang akan menghadapi hukuman berat dan tindak kekerasan jika mereka ditemukan masih memiliki barang-barang terkait ajaran Islam di rumah-rumah mereka.
China merevisi peraturan tentang urusan agama dengan dalih upaya mengurangi ekstremisme
Pihak berwenang China dilaporkan juga meningkatkan kampanye anti-Islamnya yang menyasar Muslim di wilayah Utara-Barat Xinjiang.
Menurut sumber di wilayah tersebut, pejabat Beijing memperingatkan lingkungan dan Masjid bahwa keluarga minoritas etnis dipaksa menyerahkan barang-barang keagamaan termasuk Al-Quran dan sajadah yang biasa mereka gunakan untuk shalat.
Menurut Radio Free Asia, laporan semacam itu muncul dari Kashgar, Hotan dan wilayah lain dengan praktik serupa mulai pekan lalu.
Juru bicara Kongres Uighur Dunia (World Uyghur Congress), Dilxat Raxit mengatakan bahwa mereka menerima sebuah pemberitahuan yang mengatakan bahwa setiap etnis Uighur harus menyerahkan barang-barang yang berhubungan dengan ajaran Islam dari rumah mereka sendiri.
Kitab Al-Quran dan barang-barang terkait ajaran Islam lainnya harus diserahkan ke otoritas pemerintah setempat, dan akan ada pemberitahuan yang disiarkan melalui WeChat, aplikasi media sosial China yang paling populer.
“Warga di Kashgar, Hotan, dan daerah lainnya diberi pengumuman bahwa semua warga Muslim Uighur harus menyerahkan barang-barang berkaitan dengan Islam. Pemberitahuan juga disiarkan melalui jaringan sosial WeChat,” kata Dilxat Raxit, laman metro.co.uk, Jumat (29/09/2017).
Pejabat setempat diwajibkan menyita semua kitab Al-Quran dan tikar khusus yang digunakan untuk namaaz [doa], “ pungkas seorang sumber warga minoritas Kazakh di Prefektur Altay, dekat perbatasan dengan Kazakhstan kepada Radio Free Asia.
”Hampir setiap rumah tangga memiliki Al-Quran dan sajadah,” jelasnya.
Menurut pejabat setempat, pihak berwenang Xinjiang awal tahun ini, mulai menarik peredaran semua Al-Quran yang diterbitkan lebih dari lima tahun yang lalu karena dalih kandungan ekstremisme.
Al-Quran diambil paksa sebagai bagian dari kampanye ‘Tiga Illegal dan Satu Item’ (‘Three Illegals and One Item’) yang sedang berlangsung di wilayah Xinjiang, barang-barang berbau Islam dianggap ‘ilegal’ terutama yang dimiliki oleh sebagian besar warga Muslim Uighur. Operasi juga ini melarang publisitas, kegiatan keagamaan, pengajaran agama semua dianggap ilegal, selain itu juga barang-barang yang diyakini sebagai alat terorisme termasuk benda-benda yang mudah terbakar, dan pisau.
Asosiasi Amerika Uighur (Uyghur American Association) mengatakan dalam sebuah siaran persnya baru-baru ini bahwa China telah menerapkan kebijakan baru yang selanjutnya mengkriminalkan praktik dan kepercayaan keagamaan, dalam hal ini ajaran Islam.
Proyek Hak Asasi Manusia Uighur (Uyghur Human Rights Project )telah mendesak pemerintah China untuk menghormati standar hak asasi manusia internasional mengenai kebebasan beragama dan untuk mengakhiri penargetan warga Muslim Uighur. China berdalih bahwa hal tersebut diterapkan untuk menghadapi ancaman dari kultus domestik dan Islam radikal, bagaimanapun, para kritikus menuduh Beijing memiliki pola yang lebih luas dengan penistaan, penahanan dan pelecehan terhadap minoritas Muslim.
Menurut salinan peraturan yang diunggah dalam situs resmi Dewan Negara, langkah terakhir berfokus pada ‘menjaga legalitas, menghalangi ekstremisme, dan menyerang tindak kriminal’.
Sumber-sumber Kazakh mengatakan peringatan sebelumnya yang menyerukan penyitaan Al-Quran dan barang-barang berbau keagamaan tidak berjalan efektif, sehingga pihak berwenang China meningkatkan tekanan bagi para keluarga Muslim untuk menyerahkan barang-barang religiusnya di bawah kebijakan paksa pemerintah.
Penyitaan yang menyasar Muslim Uighur kini juga diperluas ke populasi etnis Kazakh di negara itu.
Pada saat yang sama, setiap produk dari negara tetangga Kazakhstan atau yang memiliki bahasa atau simbol Kazakh juga telah dilarang, menurut beberapa sumber.
Sebuah pemberitahuan polisi yang bocor dari prefektur Changji meminta pejabat setempat untuk mencari barang yang mengandung tulisan atau simbol yang terkait dengan Kazakhstan.
“Setiap barang yang memuat tulisan atau jejak Kazakhstan lainnya, termasuk rambu jalan atau grafiti, hiasan toko, barang seni dan kerajinan, kaos dan sebagainya, harus segera diselidiki … dan laporan terperinci dibuat ke otoritas yang lebih tinggi pada bulan September 25, “pemberitahuan tersebut, tertanggal 22 September, katanya.
Sumber Kazakhstan kedua mengatakan pihak berwenang juga mencari dan menyita produk yang dibawa dari Kazakhstan.
“Ada pembatasan penjualan produk dan bahan makanan dari Kazakhstan, termasuk mie, produk organik dan semangat susu kuda,” kata sumber tersebut. “Mereka tidak akan membiarkan Anda menjual barang-barang yang dibawa dari Kazakhstan.”
Saat ini ada sekitar 1,5 juta orang Kazakh di China. Etnis Kazakh (berasal dari kata qazaq atau qazgaq) adalah etnis berbahasa Turki yang mendiami bagian utara Asia Tengah (sebagian besar di wilayah Kazakhstan, namun dapat dijumpai di wilayah Tiongkok bagian barat (tepatnya di provinsi Xinjiang), Uzbekistan, Rusia, dan Mongolia).
Belum lama ini, seorang aktivis dakwah dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena membentuk sebuah kelompok diskusi online yang mengajarkan tentang Islam dan Al-Quran.
Huang Shike (49), ditangkap di Provinsi Xinjiang pada 2016, tiga bulan setelah dia membentuk kelompok diskusi tentang Islam dalam aplikasi media sosial, WeChat.
Menurut situs resminya, China Judgment Online, Huang dilaporkan mengajarkan Al-Quran melalui WeChat dengan total sekitar 100 anggota.
Huang Shike, 49 tahun, berinisiatif mendakwahkan Islam dengan memberi pengajaran tentang Al-Quran dalam kelompok diskusi online melalui aplikasi WeChat. Untuk diketahui lebih dari 100 orang menajdi anggota masing-masing kelompok, menurut “China Judgments Online.”
Huang dijebloskan ke dalam penjara hanya karena upaya-upaya dakwahnya yang dinilai rezim China “mengganggu aktivitas keagamaan normal” dan melanggar undang-undang tentang penggunaan internet untuk membahas tentang agama, menurut laporan situs “China Judgments Online.”
Otoritas China terus meningkatkan pengawasan dan patroli polisi di Xinjiang, dengan dalih khawatir akan penyebaran “ekstremisme” yang mereka yakini telah menyusupi wilayah ini yang diduga berasal dari Asia Tengah.
Huang adalah anggota minoritas Hui. Saat ini terdapat lebih dari 20 juta Muslim di China, terutama di dari kalangan Uighur, Hui dan etnis minoritas lainnya. 10,6 juta Muslim Cina merupakan keturunan Hui dari pemukim Muslim dan warga asli Cina yang memeluk Islam – etnis Hui sebagaimana diketahui telah lama mengalami hubungan tegang dengan etnis Han, yang mendominasi lebih dari 90 persen dari total 1,37 miliar populasi China.
Pejabat Beijing mendesak pemerintah daerah untuk secara paksa mengasimilasikan minoritas Muslim ke dalam budaya Han China, karena tudingan mereka atas tren yang mereka sebut “Arabisasi” di kalangan Muslim China.
Xinjiang Uighur Autonomous Region (Wilayah Otonomi Uighur Xinjiang) merupakan rumah bagi sejumlah kelompok etnis termasuk Uighur.
Etnis Uighur merupakan kelompok minoritas Muslim yang berbahasa Turki dengan jumlah 45 persen dari total populasi di Xinjiang.
Kelompok minoritas Muslim telah lama menuduh pemerintah membatasi hak-hak budaya dan agama mereka.
Kelompok-kelompok HAM internasional menuding pihak berwenang China telah memberlakukan aturan yang berat sebelah di wilayah Xinjiang, termasuk serangan penyerbuan dan tindak kekerasan oleh polisi China terhadap rumah-rumah Muslim Uighur. Bahkan kebijakan pembatasan bagi Muslim untuk mempraktian ajaran Islam, dan pembatasan pada ekspresi budaya Muslim Uighhur serta bahasa asli dari etnis Uighur.
Sementara di sisi lain, para ahli di luar Cina mengatakan bahwa pihak Beijing telah membesar-besarkan ancaman dari muslim Uighur, dan bahwa kebijakan-kebijakan domestik tersebut bertanggung jawab atas meningkatnya kekerasan yang telah menewaskan ratusan orang sejak tahun 2012.
Label Terorisme Palsu Bagi Etnis Uighur
Beijing menuduh bahwa pejuang Muslim Uighur mirip seperti Gerakan Islam Turkistan yang berada di balik serangan di Xinjiang, yang diklaim pihak Beijing telah menimbulkan gelombang kerusuhan yang mematikan.
Namun para pakar dari luar negeri meragukan kekuatan kelompok itu dan hubungan mereka dengan terorisme global, dengan beberapa pakar mengatakan bahwa pemerintah Cina melebih-lebihkan ancaman untuk melakukan pembenaran atas langkah-langkah keamanan ketat mereka di wilayah yang kaya akan sumber daya alam itu.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan bahwa tindakan keras pemerintah Beijing malah menjadi pemicu kekerasan.
Beijing menganggap kecaman dari pemerintah-pemerintah asing terhadap serangan di Xinjiang tidak berdasar, dan malah balik menuding Negara-negara Barat menerapkan “standar ganda”.
“Memerangi Gerakan Islam Turkistan Timur, Eastern Turkistan Islamic Movement (ETIM), kelompok teror yang ada dalam daftar PBB, dan kelompok teroris lainnya merupakan komponen penting dari perjuangan melawan terorisme internasional,” tegas Menlu China, Wang Yi, akhir tahun lalu saat mengomentari penembakan mati 28 Muslim Uighur.
China cenderung untuk melabeli “teroris” untuk semua serangan yang melibatkan Muslim Uighur, walaupun faktanya pemerintah Xinjiang masih sering menindas Muslim Uighur.
Beijing telah menuduh mereka sebagai dalang atas semua serangan teror di kawasan publik Cina.
Seperti diberitakan sebelumnya, para pakar keamanan dari luar negeri meragukan kekuatan kelompok Uighur dan hubungan mereka dengan terorisme global, dengan beberapa pakar mengatakan bahwa pemerintah Cina melebih-lebihkan ancaman untuk melakuka pembenara atas langkah-langkah keamanan ketat mereka di wilaya yang kaya akan sumber daya alam itu.
Beijing terus berusaha menghubung-hubungkan Uighur dengan kelompok Taliban dan ISIS.
Undang-Undang Keamanan Nasional China yang diadopsi pada bulan Juli mengharuskan semua kunci infrastruktur jaringan dan sistem informasi agar “aman dan terkendali”.
Mengutip Reuters, UU anti-terorisme juga memungkinkan Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army) untuk terlibat dalam operasi anti-terorisme di luar negeri, meskipun para ahli mengatakan China akan menghadapi masalah-masalah praktis dan diplomatik besar jika ingin melakukan hal ini
Weixing, Kepala Divisi Kontra-terorisme Departemen Keamanan Publik, mengatakan China menghadapi ancaman serius dari teroris, terutama pasukan ”Turkestan Timur”, istilah umum China untuk para Islamis itu, yang diklaim pihak Beijing beroperasi di wilayah Xinjiang.
Kelompok-kelompok HAM, meskipun, meragukan keberadaan kelompok militan kohesif di Xinjiang, dan mengatakan bahwa kerusuhan sebagian besar berasal dari kemarahan di kalangan orang-orang Muslim Uighur di wilayah ini lebih dikarenakan pembatasan agama dan budaya mereka.
Undang-undang baru ini juga membatasi hak media untuk melaporkan rincian serangan teror, termasuk ketentuan bahwa media cetak, elektronik, media online dan media sosial tidak dapat melaporkan rincian kegiatan terror yang mungkin menyebabkan imitasi, atau menunjukkan adegan yang “kejam” dan tidak manusiawi. [IZ]