SOLO (Panjimas.com) – Tiga orang saksi hidup pada masa pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965 di Tipes, Serengan, Solo mengaku suasana masyarakat begitu mencekam.
Wakimin, Ibu Sri Slamet Junaidi, dan Muhammad Amir SH, ketiganya warga Tipes menceritakan sejarah kelam yang mereka saksikan. Dihadapan ratusan jamaah Masjid Baitussalam Tipes, saat pemutaran film G30S PKI, mereka serempak bahwa orang-orang PKI suka merampas barang yang bukan haknya.
Wakimin, warga asli Klaten sudah sejak tahun 1962 pindah ke daerah Tipes. Selama menjadi penduduk Tipes, dia tidak pernah diajak warga pro PKI untuk bersosialisasi.
“Orang PKI yang disini selalu mengucilkan saya, ada kerja bakti saya tidak diikutkan. Tapi waktu ada gerakan 30 September, mereka itu pada lari, terus ada yang minta perlindungan pada saya. Lha wong saya bukan pejabat mau minta perlindungan apa,” katanya, Sabtu (30/9/2017).
Menurutnya, kondisi setelah pemberontakan 30 September 1965 yang terjadi penculikan beberapa Jendral di Jakarta berimbas ke wilayah Solo. Meski dirinya tidak tahu persis kejadian tersebut, dia menyaksikan tempat pemakaman umum wilayah Tipes kedatangan
“PKI itu nggak tahu agama, mereka pengin menguasai yang bukan haknya itu biasa. Nggonku yo nggonku, nggonmu kui yo nggonku. Yang saya ketahui dilingkungan ini, malamnya ada kendaraan tank besar masuk di kuburan ini. Ini ada apa? Saya berusaha menanyakan,” ungkapnya.
Saksi kedua merupakan seorang guru yakni Ibu Sri Slamet Junaidi warga asli Tipes. Selama menjadi guru, dia mengaku adanya perpecahan ditubuh PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) menjadi dua. Stau kubu pro PKI yang lainnya pro pemerintah liberal (bebas).
“Tahun 63 saya nikah dengan sipil ABRI, waktu itu partai ada PNI dan PKI. Kemudian karena saya seorang guru, ada perpecahan antara PGRI yang menganut PKI dan liberal (bebas). Di wilayah Kwarasan ada kelompok guru PKI yang cukup besar. Karena bujukan PKI menjanjikan kenaikan jabatan dan petani dijanjikan sebagai pejabat lurah. Saya alhamdulillah tidak tertarik masuk ke kelompok guru pro PKI,” terangnya.
Sementara itu, slogan PKI yang digemborkan “Pondok bobrok langgar bubar santri mati” membuat Muhammad Amir SH, salah satu pendiri Ponpes Al Mukmin Ngruki, menjadi target pembunuhan oleh tentara PKI. Atas informasi istri ketua PKI setempat pada 30 September akan ada rencana pembunuhan terhadap dirinya.
“Tanggal 30 September jam 11 malam saya diberitahu oleh istrinya ketua PKI bahwa jam 1 malam akan diculik dan dibunuh. Daftarnya 8 orang nama saya paling atas. Tapi karena di jembatan penuh pemuda liar, saya dan istri saya yang gendong anak saya menyeberang sungai dibelakang rumah. Masuk ke Solo ke tempat kakak saya,” katanya mengenang.
Pada Jam 1 malam rumah Amit dirusak, kaca semua pecah, tetapi PKI tidak menemukan kebwradaan Amir. Sedang temannya yang juga masuk daftar pencarian PKI, Bahrun saat pulang dari HI tertangkap. Bahrun dibunuh dengan sebelumnya dipotong kuping dan alat kemaluannya. Menurut Amir, jenazah Bahrun dikubur di daerah Ngenden selatan Laweyan. [SY]