IDLIB, (Panjimas.com) – Total warga sipil yang kehilangan nyawa setelah 10 hari serangan udara mematikan di Provinsi Idlib, Suriah kini melampaui angka 140 jiwa, demikain menurut koresponden Anadolu.
Koresponden Anadolu yang berbasis di wilayah Idlib mengatakan bahwa setidaknya 40 warga sipil terbunuh sementara 70 lainnya menderita luka-luka dalam pengeboman di Desa Armanaz, Idlib, Jumat malam (29/09).
Sejak 19 September, Idlib Selatan tetap menjadi target bombardir serangan udara mematikan pesawat-pesawat tempur Rusia dan Suriah.
Dalam aksi pengeboman tersebut, rumah-rumah sakit dan sekolah-sekolah juga ditargetkan.
Bahkan, beberapa distrik yang ditargetkan termasuk dalam zona de-eskalasi militer di Idlib, yang baru-baru ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan sebelumnya yang ditandatangani di Astana, Kazakhstan – antara Turki, Iran dan Rusia.
Pada hari Selasa (26/09), Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengutuk keras serangan udara mematikan tersebut.
“Kami tahu Rusia menargetkan elemen teroris di Idlib,” katanya. “Tapi sejumlah warga sipil dan pemberontak moderat juga telah terbunuh.”
Cavusoglu menambahkan: “Serangan terhadap warga sipil merupakan pelanggaran gencatan senjata dan pelanggaran terhadap kesepakatan Astana.”
Sementara itu, setidaknya 14 warga sipil juga tewas dalam serangan di siang hari di sebuah kota Suriah yang berada dalam jaringan “zona de-eskalasi” militer – tempat-tempat terlarang dilancarkannya serangan semacam itu, demmikian menurut seorang pejabat pertahanan sipil pro-oposisi Suriah .
Serangan-serangan itu dituding dilakukan pasukan rezim Assad, menargaetkan wilayah Ghouta Timur, yang terletak di dalam zona de-eskalasi, ujar anggota pasukan pertahanan sipil White Helmet.
Selama lima tahun terakhir, Ghouta Timur tetap dalam pengepungan pasukan rezim Assad.
Selama perundingan damai yang digelar di Astana, Kazakhstan pada awal Mei, Ghouta Timur ditunjuk sebagai salah satu bagian dari jaringan zona de-eskalasi dimana tindakan agresi militer dilarang secara eksplisit.
Perundingan Astana
Putaran pertama perundingan damai diadakan di ibukota Kazakhstan pada 23-24 Januari, setelah sebuah gencatan senjata pada 30 Desember.
Ibu kota Kazakhstan, Astana menjadi tuan rumah putaran kelima perundingan untuk menyelesaikan situasi konflik di Suriah dengan partisipasi rezim Assad dan pasukan oposisi bersenjata pada 4-5 Juli.
Selama pertemuan sebelumnya di Astana pada tanggal 4 Mei, negara penjamin – Rusia, Turki, dan Iran – menandatangani kesepakatan untuk menetapkan zona de-eskalasi di Suriah.
Pada hari Selasa (04/07), putaran kelima perundingan perdamaian dimulai di ibu kota Kazakhstan, Astana.
Pada tanggal 7 Juli, Lavrov mengumumkan Rusia, A.S dan Yordania telah menyetujui sebuah gencatan senjata di Suriah bagian barat daya – di Daraa, Quneitra dan Souweida. Ini mulai berlaku pada tanggal 9 Juli.
Putaran pertama perundingan damai diadakan di Astana pada 23 dan 24 Januari lalu, setelah gencatan senjata dicapai pada 30 Desember.
Perundingan Astana ini sedang diperantarai oleh Turki, yang mendukung oposisi Suriah, bersama dengan Rusia dan Iran, dimana keduanya mendukung rezim Assad.
Sejak awal 2011, Suriah telah menjadi medan pertempuran, ketika rezim Assad menumpas aksi protes pro-demokrasi dengan keganasan tak terduga — aksi protes itu 2011 itu adalah bagian dari rentetan peristiwa pemberontakan “Musim Semi Arab” [Arab Spring].
Sejak saat itu, lebih dari seperempat juta orang telah tewas dan lebih dari 10 juta penduduk Suriah terpaksa mengungsi, menurut laporan PBB.
Sementara itu Lembaga Pusat Penelitian Kebijakan Suriah (Syrian Center for Policy Research, SCPR) menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik lima tahun di Suriah telah mencapai angka lebih dari 470.000 jiwa. [IZ]