JAKARTA (Panjimas.com) – Dalam Pidato panjangnya saat Milad ke-18 di Masjid At-Tin – TMII, Jakarta Timur, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Drs. H. Usamah Hisyam menegaskan kembali komitmen umat Islam Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah mencatat, bangsa ini memasuki masa krisis sepanjang tahun 1949 di dalam melaksanakan sistem ketatanegaraan yang nyaris melumpuhkan sendi-sendi kehidupan persatuan berbangsa dan bernegara. Pada era Republik Indonesia Serikat (RIS), Ketua Fraksi Masyumi di Parlemen RIS, Bapak H. Muhammad Natsir, dalam pidato di parlemen pada 3 April 1950, justru tidak setuju bila mana Irian Barat tidak dimasukkan ke dalam RIS.
Beberapa bulan sebelumnya, dua tokoh pergerakan Islam, Natsir dan Haji Agus Salim menolak hasil Konferensi Meja
Bundar yang berlangsung di Den Haag, Belanda, pada 23 Agustus sampai 2 November 1949. Bahkan Natsir menolak jabatan Menteri Penerangan, dan memilih konsentrasi sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen.
Setelah berkeliling Indonesia untuk menyerap aspirasi rakyat, dalam pidato di parlemen, Natsir memberikan solusi bangsa dengan menawarkan terbentuknya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Solusi bangsa itu dikenal dengan istilah Mosi Integral Natsir, yang kemudian dilaksanakan oleh Presiden Republik Indonesia Bung Karno.
Dengan NKRI, bangsa Indonesia bisa tetap bersatu dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh sampai Irian Barat atau Papua, dengan berbagai rumpun suku, agama, dan ras. Bahkan Muhammad Natsir ditetapkan sebagai Perdana Menteri pertama di Republik ini periode 1950-1951. Atas jasanya terhadap Negara tersebut, pak Natsir ditetapkan sebagai pahlawan nasional di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2008.
Atas fakta sejarah tersebut, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) Drs. H. Usamah Hisyam menegaskan, bahwa penyelamat dan pemersatu bangsa yang bernama NKRI adalah kita (umat Islam), bukan mereka.
“Dengan demikian, pemegang jasa terbesar atas terbentuknya NKRI adalah Kita, bukan mereka. Kitalah yang telah terbukti merebut, mempertahankan, membangun dan mempersatukan NKRI, bukan mereka,” tegas Usamah.
Oleh karena itu, kita tak perlu lagi didikte soal toleransi. Karena sejak awal kemerdekaan kita sudah membuktikan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena Islam mengajarkan dan sangat menghormati nilai-nilai ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah basariah (persaudaraan sesama anak manusia), dan ukhuwah wathaniah (persaudaraan sesama anak bangsa). Islam adalah agama yang beradab, agama yang berakhlaq, agama yang rahmatan lil alamin.
Jangan Ajari Toleransi
Dikatakan Usamah Hisyam, bilamana dalam satu tahun terakhir ini ada kelompok yang hendak menyudutkan ummat Islam Indonesia seakan-akan intoleran, anti Pancasila, dan anti bhineka tunggal ika, itu adalah hoax. Itu adalah fitnah.
“Fakta sejarah menunjukkan, justru ummat Islam Indonesia yang mampu mewujudkan dan menjunjung tinggi toleransi kehidupan antar ummat beragama, dan menghormati nilai-nilai yang terkandung dalam bhineka tunggal ika.”
Usamah meyakini, mereka bukannya tidak mengerti fakta sejarah kebangsaan tersebut, tetapi memang cenderung berkehendak mengaburkan fakta sejarah, untuk melemahkan dan memecahbelah umat serta bangsa Indonesia yang kita cintai ini.
Artinya apa? Kini, tugas kita untuk mempertahankan keutuhan NKRI semakin berat, karena upaya-upaya kita untuk itu, faktanya bisa diputarbalikkan, sehingga ancaman kriminalisasi, menghantui para ulama dan aktivis pergerakan Islam. Tujuannya cuma satu: mereka hendak mengambil alih nakhoda kapal besar yang bernama NKRI yang sudah kita bangun dengan susah payah.
“Bagi Parmusi tidak ada pilihan lain, kita seluruh kader di seantero negeri harus bangkit, agar nakhoda kapal besar ini tetap berpihak kepada ummat, berpihak pada kepentingan bangsa, bukan pada kepentingan asing, sehingga NKRI tidak terkoyak-koyak,” ungkap Usamah sambil memekikkan takbir. (desastian)