COX’S BAZAR, BANGLADESH (Panjimas.com)– Rabu (27/09/2017), Pagi waktu Bangladesh, saat Direktur LAZIS Wahdah, Syahruddin C Asho dan TIM Indonesian Humanitarian Alliance (IHA) sedang melakukan rapat koordinasi, tiba-tiba sebuah pesan masuk di handphonenya.
“Pesan yang memang saya tunggu-tunggu dari seorang mitra lokal yang telah jauh hari sebelumnya telah kita jalin komunikasi dan membantu dengan baik menyalurkan bantuan ke pengungsi, senyum bahagia saat bertemu langsung dengan mereka,” demikian Syahruddin C Asho melaporkan dari Cox’s Bazaar-Bangladesh kepada Panjimas.
Pada malam harinya tim NGO Indonesia berkumpul membahas temuan dari hasil kerja Tim Advance, tim pembuka yang menyampaikan kondisi terkini di lokasi pengungsian. Kondisi pengungsi yang jumlahnya sangat banyak dan masih terus berdatangan, membuat situasi dilapangan menjadi sangat dinamis.
“Karena itu butuh strategi khusus dengan melibatkan mitra lokal untuk membantu menyalurkan bantuan ke pengungsi yang jumlahnya tersebar digunung-gunung dan dilembah-lembah serta dijaga oleh militer Bangladesh,” kata Syahruddin.
Banyak pos militer yang akan dilewati saat menuju ke kamp pengungsi, pemeriksaan setiap kendaraan yang lewat akan dijumpai, lebih khusus mobil-mobil pengangkut, mobil penumpang dan truk. Banyak truk berisi bantuan untuk pengungsi yang tertahan di pos-pos militer karena proses pemeriksaan dan perijinan yang mesti dilewati.
“Disini pemerintah dan militer bukan bermaksud menghalangi bantuan, namun lebih kepada ketertiban serta pemerataan saja. Mereka sangat ramah dan sempat saya berpoto dengan mereka,” cerita Syahruddin.
Dua jam waktu tempuh dengan angkutan sewaan CNG milik seorang warga (sejenis bajaj) untuk bisa tiba di pos pertama. Mulai disini nampak lahan bekas pengungsian yang sangat luas, mereka lalu dipindahkan ke wilayah resmi milik pemerintah Bangladesh. “Karena kami tidak membawa barang, maka tentu perjalanan jadi lancar walau khawatir dengan cara berkendaraan orang disini yang seolah tidak ada aturan lalu lintasnya.”
Tidak jauh, nampak dari sebelah kiri ada tenda BNPB Indonesia (Badan Nasional Penanggulan Bencana) yang juga terpasang spanduk IHA yang dibawah ijin dan koordinasi Kemenlu RI.
Mulai dari tempat ini banyak pengungsi Rohingya yang duduk di pinggir jalan, mereka mengharap belas kasih bantuan dari orang-orang yang lewat, kebanyakan dari mereka adalah wanita yang menggendong anak anak yang tanpa baju.
Banyak juga diantara mereka adalah laki laki yang sudah tua. Mereka berjalan dengan kaki yang penuh lumpur, seolah berjalan tanpa arah dan akan berhenti dimana kaki mereka akan letih nanti. Para wanita dengan anaknya duduk diantara semak-semak mengawasi setiap kendaraan yang lewat ‘berharap’ ada yang singgah membagikan ‘taka’ mata uang Bangladesh. Diantara mereka ada yang sebagai pengungsi lama maupun pengungsi yang baru tiba dari Myanmar.
“Kami terus melanjutkan perjalanan, dan ternyata apa yang kami jumpai selanjutnya makin membuat hati sedih. Terlebih ketika tiba di lokasi pengungsian yang terbuat dari bambu dan plastik hitam, tenda-tenda darurat itu dibangun seadanya, memenuhi lembah hingga bukit-bukit yang terhampar sejauh mata memandang. Sungguh memprihatinkan kondisi dan penderitaan yang mereka alami.”
Bibir ini jadi kelu, tangan ini bingung untuk memotret yang mana, kiri kanan depan belakang sama semua. Perasaan ini berkecamuk, air mata tak kuasa lagi ditahan melihat kondisi mereka.
Jumlah pengungsi yang besar membuat dampak besar tentunya kepada kondisi sosial mereka. Tim IHA telah mendapati langsung pengungsi yang meninggal di kamp-kamp tersebut. Bahkan kemarin, Tim medis IHA saat melakukan aksi medis di lapangan, mereka juga mendapati kondisi yang menyayat hati.
Ibu hamil melahirkan premature, bayi lahir dengan panjang badan hanya sejengkal, harus lahir dalam kondisi yang serba memprihatinkan, saat berjalan menyusuri lorong-lorong kamp yang bisa membuat pusing arahnya.
“Saya juga menemukan langsung wanita yang baru melahirkan dengan kondisi yang lemah dan perlengkapan yang kritis, bayinya hanya ditutp dengan sarung dan bantal sebab tidak ada baju bayi yang mereka miliki.
Begitu banyak kisah-kisah tentang kondisi pengungsi Rohingya yang sangat memilukan dan menyayat hati. Jumlahnya bisa mencapai 700 sampai 800 ribu jiwa, sehingga membuat suasana bagaikan perkemahan pramuka dan pasar yang sangat padat pengunjung.
Setidaknya butuh waktu 5-7 hari, bahkan bisa lebih untuk sekedar mengililingi pengungsi dari satu kamp ke kamp yang lain. Hal itu mengindikasikan banyaknya jumlah pengungsi akibat krisis kemanusiaan di wilayah Myanmar. Demikian Lazis Wahdah Peduli Rohingya melaporkan dari kamp pengungsi Cox’s Bazaar-Bangladesh. (Syahruddin/des)