JAKARTA (Panjimas.com) – Dalam Milad Parmusi ke-18 di Masjid At-Tin TMII, Jakarta, Rabu (26/9/2017) malam, Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) H. Usamah Hisyam menegaskan, hari ini bangsa Indonesia, khususnya ummat Islam menghadapi sebuah dilema besar. Pada satu sisi, kebangkitan ummat Islam – orang per orang – untuk melaksanakan nilai-nilai yang terkandung di dalam syariat Islam semakin meluas.
“Lihat saja, jamaah subuh yang mendatangi masjid-masjid terus meningkat, bahkan belakangan di mana-mana terdapat gerakan shalat subuh berjamaah di Masjid; syiar Islam melalui medsos kian marak, jumlah jamaah umroh dan jamaah haji terus membludak, majelis-majelis taklim tumbuh subur di seantaro negeri, demikian pula sekolah-sekolah berbasis Islam serta pondok pesantren semakin diminati masyarakat; dan seiring dengan merebaknya jasa keuangan syariah, tumbuh pula para pelaku ekonomi syariah,” ungkap Usamah.
Tetapi pada sisi lain, lanjut Usamah, di tengah-tengah maraknya syiar Islam tersebut, muncul sebuah fenomena yang sangat paradoksal. Kini terdapat gerakan struktural dari sejumlah institusi, baik infrastruktur politik maupun suprastruktur politik untuk menjauhkan Negara dari ajaran-ajaran Islam kaffah semakin menjadi-jadi.
“Bahkan belakangan ini ada upaya untuk membangun stigma di tengah-tengah masyarakat, bahwa ada segolongan ummat Islam yang intoleran, anti bhineka tunggal ika, tidak Pancasilais, bahkan radikal. Radikalisme cenderung diarahkan hanya terhadap kegiatan segolongan aktifis Islam yang dinilai garis keras, padahal sesungguhnya radikalisme juga tumbuh di luar golongan Islam.
Menurut pengamatan Ketua Umum, fenomena tersebut muncul, akibat sejumlah elit Negara gagal paham dalam menempatkan “nilai-nilai syariat Islam” dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. “Syariat Islam” yang sesungguhnya merupakan ruh dari kalimat tauhid Laa ilaha Illallah: yakni sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, justru dijadikan momok bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menghadapi dilema tersebut sikap Parmusi sangat tegas dan terang benderang. Sebagai ummat Islam, tak ada ajaran atau nilai-nilai lain yang harus kita anut, taati, dan patuhi, kecuali menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup yang kita yakini bersama. Sebagaimana firman Allah SWT: “Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS. Al-Baqorah: 2).
Bahkan Allah SWT menegaskan pula:“Barangsiapa berpaling dari pada Al-Quran maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat,” (QS. Tha Ha: 100).
Mamaknai Pancasila
Mukadimah yang menjadi landasan ideologis dan konstitusional Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia secara tegas menyebutkan, “Atas berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa…’ Artinya apa? Kemerdekaan Republik Indonesia diyakini oleh the founding fathers negara tercinta ini merupakan anugerah Allah SWT, sehingga menempatkan Ketuhanan yang Maha Esa – yang menjadi keimanan tertinggi ummat Islam – sebagai sila pertama Pancasila.
“Karena memang kebangkitan perjuangan menuju revolusi kemerdekaan RI dimotori oleh para mujahid dan suhada serta para tokoh dan ulama pergerakan revolusi sebagai golongan mayoritas, yang merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah,” ungkap Usamah.
Dengan demikian, ideologi yang menjadi dasar Negara pun yakni Pancasila, bersumber dari pemikiran nilai-nilai religius yang dikembangkan oleh para ulama dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ruh daripada sila-sila lainnya.
“Ketuhanan yang Maha Esa yang ditempatkan teratas sebagai sila pertama, sekaligus merupakan kalimat tauhid Illallah, menjadi ruh atau sumber segala sumber nilai yang menyemangati dan melandasi sila-sila berikutnya, baik kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dalam pengertian lain, seluruh penjabaran sila daripada Pancasila tidaklah boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula seluruh perangkat hukum Negara, apakah itu UUD maupun UU dan peraturan lainnya, harus tetap menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai ruh yang menjiwai kehadiran Negara. Singkat kata, seluruh perangkat perundang-undangan itu, tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Karena itu nilai-nilai Illahiah, harus menjadi sumber segala sumber dalam menata sikap dan perilaku di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” (desastian)