YANGON, (Panjimas.com) – Militer Myanmar dituding dengan sengaja menebarkan ranjau-ranjau di negara bagian Rakhine Barat, menurut pernyataan kelompok hak asasi manusia internasional yang berbasis di New York, Human Rights Watch, Sabtu (23/09).
Dengan mengungkapkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang dikumpulkan seperti laporan saksi mata, laporan independen, dan rekaman foto-foto dan video, Human Rights Watch menegaskan bahwa Militer Myanmar telah menempatkan ranjau-ranjau darat anti-personel di titik-titik penyeberangan utama di perbatasan Barat Myanmar dengan negara tetangga Bangladesh, dilansir dari laporan Anadolu.
HRW mengatakan bahwa ranjau-ranjau darat yang diletakkan oleh Tentara Myanmar di sepanjang perbatasan menimbulkan risiko besar bagi warga desa-desa Muslim Rohingya yang hendak melarikan diri dari kekejaman brutal yang sedang berlangsung di Rakhine.
“Bahaya yang dihadapi ribuan Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekejaman di Burma cukup mematikan itu belum tanpa ditambahkan dengan ranjau-ranjau darat ke dalam daftar bahaya tersebut,” kata Direktur HRW wilayah Asia Selatan Meenakshi Ganguly, yang menggunakan nama bekas Myanmar yakni Burma.
“Militer Burma perlu berhenti menggunakan senjata terlarang ini, yang membunuh dan melukai tanpa ampun,” pungkasnya dalam sebuah pernyataan.
Saksi mata mengatakan kepada HRW bahwa personil Militer Myanmar juga menanamkan ranjau-ranjau darat di jalan-jalan di wilayah Rakhine sebelum serangan mereka ke desa-desa Muslim Rohingya.
Human Rights Watch mewawancarai para pengungsi Rohingya yang menyaksikan tentara-tentara Myanmar menebarkan ranjau-ranjau darat anti-personil di jalanan saat serangan terhadap warga desa Muslim Rohingya.
Mohammad, 39 tahun, mengatakan bahwa dia melihat langkah seorang tetangganya di salah satu ranjau yang diletakkan oleh Militer. “Rajau itu menghilangkan kaki kanannya,” ujar saksi mata Rohingya dalam pernyataan HRW.
Ledakan di Madrasah Muslim
Secara terpisah, menurut laporan media, sebuah ledakan pada hari Jumat (22/09) merusak sebagian bangunan MadrasahMuslim di sebuah desa Rohingya di Kotapraja Buthidaung yang sebagian besar tetap damai di tengah kekerasan baru-baru ini. Pemerintah Myanmar menyalahkan ledakan itu terhadap militan, namun gagal memberikan bukti apapun.
Pemerintah Bangladesh baru-baru ini memprotes penggunaan ranjau darat oleh pasukan keamanan Myanmar di daerah perbatasan setelah sebuah ledakan menewaskan tiga warga Muslim Rohingya yang melarikan diri dari kekerasan di daerah Maungdaw.
Sejak 25 Agustus, lebih dari 429.000 Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Myanmar di Rakhine ke Bangladesh, menurut Badan Imigrasi PBB, IOM.
Secara total, lebih dari 800.000 pengungsi Rohingya sekarang diyakini berada di Bangladesh, termasuk gelombang para pendatang baru yang melonjak sejak 25 Agustus lalu.
Sementara Militer Myanmar mengatakan bahwa mereka hanya menargetkan gerilyawan Rohingya, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia, ‘United Nations High Commissioner for Human Rights’, Zeid Ra’ad Al Hussein mencemooh pernyataan tersebut, dengan mengatakan bahwa citra satelit dengan jelas menunjukkan bahwa Militer Myanmar membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Para pengungsi Rohingya terpaksa melarikan diri dari operasi keamanan militer di mana pasukan keamanan dan gerombolan ektrimis Buddha membunuhi pria, wanita dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah dan bahkan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Menurut pemerintah Bangladesh, sekitar 3.000 Muslim Rohingya dibantai dalam tindakan kekerasan Militer Myanmar tersebut.
Etnis Paling Teraniaya di Dunia
Rohingya, disebut oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya di dunia, danmereka telah menghadapi ketakutan atas serangan tersebut sejak puluhan orang bahkan ada yang menyebut ratusan terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sementara itu, Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) menegaskan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.[IZ]