DHAKA, (Panjimas.com) – Paket pasokan darurat pertama dari UNICEF untuk ratusan ribu anak-anak Muslim Rohingya beserta keluarga-keluarganya dilaporkan telah tiba di ibukota Dhaka, Ahad (24/09).
Pesawat kargo UNICEF tersebut tiba dengan 100 ton persediaan pasokan darurat kemanusiaan, yang berisi tablet pemurni air, perlengkapan kebersihan keluarga, bahan sanitasi, terpal plastik, dan perlengkapan rekreasi untuk anak-anak di antara barang-barang kebutuhan darurat lainnya.
Edouard Beigbeder, perwakilan UNICEF di Bangladesh, menegaskan “Memastikan bahwa anak-anak dan keluarga-keluarga Rohingya mendapatkan air bersih untuk minum dan mencuci sangatlah penting untuk melindungi mereka dari diare dan penyakit-penyakit yang rentan ditularkan melalui air lainnya”, seperti dilansir Anadolu.
“Ini adalah ancaman yang sangat nyata mengingat situasi saat ini di kamp-kamp dan permukiman darurat dimana ratusan ribu pengungsi Rohingya sekarang ini tinggali, terutama di tengah hujan deras saat ini”.
Beigbeder mengatakan bahwa kiriman pasokan bantuan selanjutnya terdiri dari tas sekolah, tenda, perlengkapan pengembangan anak usia dini, perlengkapan kebersihan keluarga, terpal dan bahan-bahan gizi juga sedang dalam perjalanan menuju ke Bangladesh.
Pasokan UNICEF tersebut akan dikirimkan dengan truk ke kota di wilayah Selatan Cox’s Bazar, di mana respon kkomunitas internasional meluas dengan memobilisasi bantuan dalam rangka mengatasi penderitaan Rohingya.
UNICEF saat ini sedang mencari dana tambahan sebesar $7,3 juta dollar untuk program-programnya di Bangladesh Selatan selama tiga bulan ke depan.
Sejak 25 Agustus, lebih dari 429.000 Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Myanmar di Rakhine ke Bangladesh, menurut Badan Imigrasi PBB, IOM.
Secara total, lebih dari 800.000 pengungsi Rohingya sekarang diyakini berada di Bangladesh, termasuk gelombang para pendatang baru yang melonjak sejak 25 Agustus lalu.
Sementara Militer Myanmar mengatakan bahwa mereka hanya menargetkan gerilyawan Rohingya, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia, ‘United Nations High Commissioner for Human Rights’, Zeid Ra’ad Al Hussein mencemooh pernyataan tersebut, dengan mengatakan bahwa citra satelit dengan jelas menunjukkan bahwa Militer Myanmar membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Para pengungsi Rohingya terpaksa melarikan diri dari operasi keamanan militer di mana pasukan keamanan dan gerombolan ektrimis Buddha membunuhi pria, wanita dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah dan bahkan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Menurut pemerintah Bangladesh, sekitar 3.000 Muslim Rohingya dibantai dalam tindakan kekerasan Militer Myanmar tersebut.
Etnis Paling Teraniaya di Dunia
Rohingya, disebut oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya di dunia, danmereka telah menghadapi ketakutan atas serangan tersebut sejak puluhan orang bahkan ada yang menyebut ratusan terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sementara itu, Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) menegaskan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.[IZ]