SOLO (Panjimas.com)– Tokoh Sejarawan muda Solo, Ustadz Isa Anshori mengatakan aksi nonton bareng (nonbar) film G30S PKI hal baik. Dia menilai dalam film tersebut baru menceritakan kekejaman PKI terhadap tokoh-tokoh besar pada tahun 1965.
“Ayo kita nonton, dan baiknya ada yang mengarahkan. Ada prolognya, ada tujuannya. Karena jangan sampai orang merasa puas dengan nonton saja dan merasa tahu PKI hanya dari film itu saja,” ujarnya.
Ustadz Isa menjelaskan bahwa pada tahun 1948 banyak kalangan kyai dan santri diculik orang-orang PKI dan tidak pernah kembali. “Dan kenapa korban umat Islam banyak, waktu itu tidak ada kesiapsiagaan,” katanya.
Ketua MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) Solo itu mengungkapkan konflik yang ada di bawah masih luput dari cerita film tersebut. Efek dari respon balik pembantaian G30S PKI munculnya pembantaian dan pemurtadan massal. Pembantaian massal tersebut sebab banyak juga dari kalangan masyarakat yang dituduh PKI. Sedang yang tertuduh PKI berusaha mencari keselamatan, yang akhirnya ditampung orang Kristen meski harus murtad.
“Pembantaian massal, pemurtadan massal hampir tidak terekam. Ini harus diambil pelajaran jangan sampai terulang kembali. Banyak di antara mereka sebenarnya bukan PKI beneran atau hanya orang yang ikut-ikutan,” ucapnya.
Dia menerangkan munculnya konflik pemberontakan PKI di Solo sebab basis massa PKI terbesar berada di kalangan buruh. PKI sejak eksis dengan pemberontakannya di tahun 1948 sudah memiliki basis massa dikalangan buruh. Kata dia, wilayah Delanggu, Klaten yang memiliki pabrik gula merupakan basis massa terbesar di kalangan buruh termasuk di Madiun.
Hal inilah yang belum diungkap dalam film G30S PKI dengan adanya adanya rentetan peristiwa mulai tahun 1948 yang sudah mulai terjadi pembantaian massal.
“Saya sepakat diputar kembali tetapi harus ada syaratnya, dengan ada yang menjelaskan peristiwa sebenarnya dalam film tersebut,” pungkasnya. [SY]