KUALA LUMPUR, (Panjimas.com) – Pengadilan Internasional memutuskan bahwa pemerintah Myanmar ditetapkan “bersalah atas genosida” terhadap penduduk muslim Rohingya dan minoritas Muslim lainnya.
“Pengadilan (Internasional) memutuskan bahwa Myanmar bersalah melakukan genosida terhadap orang-orang Kachin dan kelompok-kelompok Muslim di sana,” pungkas Daniel Feierstein, Ketua Pengadilan Permanen Rakyat yang beranggotan tujuh anggota hakim, dikutip dari Anadolu.
“Permanent Peoples’ Tribunal” didirikan di Italia pada tahun 1979 dan terdiri dari 66 anggota internasional.
Sejak berdirinya,“Permanent Peoples’ Tribunal” tersebut telah menyelenggarakan 43 sesi mengenai berbagai kasus yang melibatkan hak asasi manusia dan genosida.
Prosesi persidangan Pengadilan internasional “Permanent Peoples’ Tribunal” tersebut, diadakan di ibukota Malaysia, Kuala Lampur selama lima hari, dengan mempertimbangkan berbagai bukti film dokumenter, bukti para ahli dan kesaksian dari sekitar 200 korban kekejaman yang dilakukan terhadap kelompok minoritas Rohingya, Kachin dan kelompok minoritas Muslim lainnya.
“Permanent Peoples’ Tribunal” menuntut pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan terhadap minoritas Muslim.
“Visa dan akses bebas harus diberikan kepada United Nation’s Fact Finding (Tim Pencari Fakta PBB) untuk menyelidiki kekejaman yang dilakukan terhadap minortas Rohingya, Kachin dan kelompok Muslim lainnya di Myanmar,” tulis pengadilan internasional tersebut dalam sebuah pernyataan.
“Permanent Peoples’ Tribunal” mendesak pemerintah Myanmar harus mengubah konstitusi dan menghapuskan undang-undang diskriminatif serta memberikan hak dan kewarganegaraan kepada minoritas yang tertindas.
Sejak 25 Agustus, sekitar 429.000 Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Myanmar di Rakhine memasuki wilayah Bangladesh, menurut PBB.
Para pengungsi tersebut terpaksa melarikan diri dari operasi brutal militer di mana pasukan Myanmar dan gerombolan ektrimis Buddha membunuh pria, wanita dan anak-anak, menjarah rumah dan membakar desa-desa Rohingya. Menurut Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hasan Mahmood Ali, sekitar 3.000 orang Rohingya dibantai dalam tindakan brutal dan keji tersebut.
Pengadilan “Permanent Peoples’ Tribunal” juga menyerukan masyarakat internasional untuk memberikan bantuan keuangan ke negara-negara seperti Bangladesh dan Malaysia yang menjadi tuan rumah bagi gelombang pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan tersebut.
Malaysia saat ini menjadi tuan rumah salah satu populasi pengungsi perkotaan terbesar di dunia. Pada tahun 2014, sekitar 146.020 pengungsi dan pencari suaka telah terdaftar oleh UNHCR di Malaysia, dimana sebagian besar atau sekitar 135.000 berasal dari Myanmar.
Etnis Paling Teraniaya di Dunia
Rohingya, disebut oleh PBB sebagai etnis yang paling teraniaya di dunia, danmereka telah menghadapi ketakutan atas serangan tersebut sejak puluhan orang bahkan ada yang menyebut ratusan terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sementara itu, Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) menegaskan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bangladesh, yang telah menjadi tuan rumah bagi sekitar 400.000 pengungsi Rohingya, telah menghadapi gelombang besar masuknya pengungsi baru sejak operasi Militer Myanmar diluncurkan. PBB menyebutkan sebanyak 429.000 penduduk Rohingya kini mencari perlindungan di Bangladesh.[IZ]