LONDON, (Panjimas.com) – Pemerintah Inggris menangguhkan semua kesepakatan kerjasamanya dengan Militer Myanmar sampai tindakan kekerasan terhadap minoritas Muslim Rohingya di negara itu dihentikan, demikian pernyataan Perdana Menteri Inggris Theresa May, Selasa (19/09).
“Kami sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada orang-orang Rohingya di Burma [Myanmar]. Tindakan militer terhadap mereka harus dihentikan,” tegas PM May saat berpidato dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, dikutip dari AA.
Memperhatikan bahwa “terlalu banyak orang yang sangat rentan dan lemah” harus melarikan diri demi selamatnya hidup mereka, PM May mengatakan: “Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan pemerintah Burma perlu menjelaskan dengan sangat jelas bahwa tindakan militer harus dihentikan.”
“Pemerintah Inggris mengumumkan hari ini bahwa kami akan menghentikan semua keterlibatan dan pelatihan pertahanan militer Burma oleh Kementerian Pertahanan [Inggris] sampai masalah ini teratasi,” imbuhnya.
Tahun lalu, Inggris menghabiskan sekitar £ 305.000 poundsterling (sekitar $ 412.000 dollar) sebagai bagian dari program pelatihan yang diberikan kepada Militer Myanmar mengenai demokrasi, kepemimpinan dan bahasa Inggris. Program yang ditawarkan oleh Kementerian Pertahanan Inggris tersebut tidak termasuk pelatihan tempur.
Sejak 25 Agustus, lebih dari 420.000 penduduk Rohingya terpaksa menyeberang dari negara bagian Myanmar Rakhine menuju ke Bangladesh, menurut PBB.
Sementara Militer Myanmar mengatakan bahwa mereka hanya menargetkan gerilyawan Rohingya, al-Hussein mencemooh pernyataan tersebut, dengan mengatakan bahwa citra satelit dengan jelas menunjukkan bahwa Militer Myanmar membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Para pengungsi Rohingya terpaksa melarikan diri dari operasi keamanan militer di mana pasukan keamanan dan gerombolan ektrimis Buddha membunuhi pria, wanita dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah dan bahkan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Menurut pemerintah Bangladesh, sekitar 3.000 Muslim Rohingya dibantai dalam tindakan kekerasan Militer Myanmar tersebut.
Etnis Paling Teraniaya di Dunia
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sementara itu, Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) menegaskan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.[IZ]