SUKOHARJO (Panjimas.com) – 1 Muharrom 1439 Hijriah merupakan Tahun baru Islam, sayangnya tahun baru yang disebut orang Solo sebagai 1 Suro ditandai dengan fenomena kemusyrikan dan jauh dari syariat Islam yakni kirab Pusaka Keraton atau sering disebut dengan kirab Kebo (Kerbau) Kyai Slamet.
Ribuan orang berjalan mengelilingi sebagian ruas jalan protokol kota Solo dengan menggunakan busana Jawa. Arak-arakan tersebut dipimpin oleh hewan kerbau yang diberi nama Kyai Slemet kemudian disusul dengan pusaka Keraton Surakarta dan terakhir diikuti oleh ribuan abdi dalem. Biasanya dalam mengikuti kirab tersebut para peserta dilarang berbicara atau disebut dengan tapa bisu.
Fenomena turun temurun ini, beberapa kalangan menganggap sebagai budaya yang harus dipelihara. Mengarak Kerbau Bule malam 1 Muharrom di tengah kota Solo menjadi hal yang menjijikkan bagi kebanyakan orang, karena ada sebagain orang yang mengambil kotoran kerbau untuk dijadikan sesaji.
Yang lebih memprihatinkan lagi kirab yang diikuti ribuan peserta ini juga disaksikan sebagain warga Kota Solo padahal pelaksanaan kirab biasanya antara jam 12.00 hingga 04.00 pagi. Artinya budaya kemusyrikan ini menjangkiti ribuan orang Solo. Bahkan konon banyak orang dari daerah seperti Wonogiri, Sragen, Purwodadi yang rela berjalan kaki demi menyaksikan kirab 1 Sura.
Hal diatas berlaku untuk Keraton Kasunanan Surakarta, sedangkan untuk Pura Mangkunegaran juga tak jauh beda. Meraka melakukan ritual berkeliling Pura dengan melakukan tapa bisa. Bersamaan itu biasanya juga dilakuan jamasan pusaka (mencuci pusaka). Dan air dari pencucian itu biasanya menjadi rebutan masyarakat. Mereka percaya jika memperoleh air tersebut akan mendapatkan berkah.
Menanggapi hal itu, Pimpinan Ponpes Al Mukmin Ngruki, Ustadz Muhammad Sholeh Ibrahim menegaskan bahwa fenomena Kirab Kerbau Kyai Slamet berawal karena pemahaman tauhid yang salah.
“Fenomena ini kan dari turun temurun, mereka tetap mengkader. Karena pemahaman tauhidnya sudah salah,” kata Ustadz Sholeh di Ngruki, Grogol, Sukoharjo, Kamis (21/9/2017).
Ustadz Sholeh menjelaskan bahwa merubah kemusrikan fenomena Kirab Kerbau Kyai Slamet tidak mudah. Hal ini dilatarbelakangi adanya tradisi turun temurun dan difasilitasi pihak pemangku jabatan dan Kraton Surakarta Hadiningrat.
“Tauhid itu lawannya syirik, mereka tidak paham tentang hal itu. Kegiatan itu jelas bertentangan dengan perintah Allah, seakan mereka ini tidak merasa ada pertanggungjawaban dihadapan Allah. Tapi kalau kita mengingatkan juga akan muncul persoalan besar,” ucapnya.
Lebih lanjut, Ustadz Sholeh menilai fenomena tersebut sebagaimana peristiwa menyebarnya ajaran menyembah patung berhala pada massa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
“Kalau mereka mengajak umat Islam untuk terlibat dalam kemusyrikan itu, baru kita bersikap. Itu suatu bentuk kemusyrikan pada massa sebelum Nabi Muhammad, yaitu ketika Nabi Ibrahim mengingatkan kaum penyembah berhala-berhala. Sama itu,” tandasnya. [SY]