NEW YORK, (Panjimas.com) – Ratusan massa berkumpul di luar markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York City untuk memprotes kekerasan yang sedang berlangsung terhadap minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.
Ratusan massa aksi bela rohingya tersebut menggelar shalat Jumat berjamaah di Taman Dag Hammarskjöld yang menghadap ke kompleks markas PBB, diikuti kemudian dengan aksi solidaritas yang diselenggarakan bersama oleh beberapa organisasi Muslim, di mana para pembicara dari berbagai latar belakang menuntut pihak berwenang Myanmar untuk segera mengakhiri pertumpahan darah tersebut.
“Kami berada di sini atas kesadaran diri kami, untuk menjadi orang-orang yang berbicara atas nama mereka yang dianiaya, yang ditindas di mana-mana di dunia ini,” Abdel-Hafid Djemil, Presiden Dewan Kepemimpinan Islam (Islamic Leadership Council) yang berbasis di New York, dilansir dari Anadolu.
Djemil menekankan bahwa Muslim Amerika harus mendesak pemerintah AS dan juga PBB untuk bertindak.
Hampir 400.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh sejak pasukan Myanmar terlibat pada 25 Agustus di mana Kepala HAM PBB Zeid Ra’ad al-Hussein menyebut kejadian ini sebagai” model buku teks tentang pembersihan etnis”.
Sementara Militer Myanmar mengatakan bahwa mereka hanya menargetkan gerilyawan Rohingya, al-Hussein mencemooh pernyataan tersebut, dengan mengatakan bahwa citra satelit dengan jelas menunjukkan bahwa Militer Myanmar membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Para pengungsi Rohingya terpaksa melarikan diri dari operasi keamanan militer di mana pasukan keamanan dan gerombolan ektrimis Buddha membunuhi pria, wanita dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah dan bahkan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Menurut pemerintah Bangladesh, sekitar 3.000 Muslim Rohingya dibantai dalam tindakan kekerasan Militer Myanmar tersebut.
Etnis Paling Teraniaya di Dunia
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sementara itu, Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) menegaskan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.[IZ]