PRETORIA, (Panjimas.com) – Sekitar 2.500 massa berkumpul di luar Kedutaan Besar Myanmar di ibukota Afrika Selatan, Pretoria, Jumat (15/09), dalam rangka mengutuk keras pembantaian Muslim Rohingya yang terus berlanjut di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Moulana Ebrahim Bham, Sekretaris Jenderal Dewan Ulama Muslim (“Jamiatul Ulama”), bertanya-tanya mengapa Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi, peraih Nobel perdamaian, tetap diam membisu di tengah kekerasan yang sedang berlangsung.
“Tuhan lebih besar dari semua orang. Siapa yang mengira penindasan apartheid akan berakhir di Afrika Selatan?” tanyanya saat para ribuan massa meneriakkan” Turunkan, Myanmar, Turunkan ” “Turunkan para penindas, turunkan”, dikutip dari AA.
Seorang perwakilan komunitas Buddha di Afrika Selatan juga ikut dalam aksi demonstrasi tersebut, Ia menyerukan kepada sesama umat Buddha di seluruh dunia untuk mengadvokasi Rohingya dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada orang-orang yang terkena dampak.
Ven. Gyalten Nyima mengatakan bahwa orang-orang yang membunuh Muslim Rohingya tidak mengikuti ajaran Buddhisme sejati, yang menyerukan kasih sayang, cinta kasih, dan kesetaraan.
Beberapa peserta aksi solidaritas Muslim Rohingya, termasuk umat Islam dan Budha, membawa sebuah spanduk berslogan, “Buddhisme dan Islam bersatu untuk mengakhiri genosida di Burma, ” menggunakan nama bekas Myanmar.
Polisi Bertindak Keras
Polisi menggunakan granat setrum dan gas air mata untuk membubarkan massa namun kondisinya kemudian pulih kembali normal.
Jurnalis Anadolu Agency Omer Kilic dipukul dengan sebuah batu di dahinya saat terjadi bentrokan antara polisi dan beberapa pengunjuk rasa yang melempari batu dan botol. Kilic diberi bantuan darurat oleh paramedis di tempat kejadian.
Ribuan massa menuntut agar pemerintah Myanmar segera turun tangan dan bertanggung jawab atas kekejaman yang meluas yang telah mengakibatkan ratusan ribu Muslim Rohingya terpaksa mengungsi.
Sejak 25 Agustus, lebih dari 400.000 Rohingya telah menyeberang dari negara bagian Myanmar di Rakhine ke Bangladesh, menurut PBB.
Para pengungsi Rohingya terpaksa melarikan diri dari operasi keamanan militer di mana pasukan keamanan dan gerombolan ektrimis Buddha membunuhi pria, wanita dan anak-anak Rohingya, menjarah rumah dan bahkan membakar desa-desa Muslim Rohingya.
Menurut pemerintah Bangladesh, sekitar 3.000 Muslim Rohingya dibantai dalam tindakan kekerasan Militer Myanmar tersebut.
Etnis Paling Teraniaya di Dunia
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Sementara itu, Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) menegaskan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.[IZ]