ISTANBUL, (Panjimas.com) – Muslim Rohingya telah menunjukkan solidaritas dengan rakyat Turki lebih dari seratus tahun yang lalu, sejak Perang Dunia ke 1, demikian pernyataan Wakil Perdana Menteri Turki Fikri Isik, mengatakan Jumat (08/09), mengutip dokumen arsip sejarah, seperti dilansir Anadolu.
Dokumen yang berasal dari Arsip Ottoman menunjukkan solidaritas Rohingya yang mendalam dengan Kekhalifahan Utsmani.
Wakil PM Fikri Isik menjelaskan bahwa Muslim Rohingya telah menyumbangkan 1.391 poundsterling ($ 1.833 dollar) untuk membebaskan para korban luka, anak yatim piatu, janda dan keluarga muslimm yang syahid selama Perang Balkan ke-2, yang terjadi di antara negara-negara Balkan yang berupaya merebut tanah Kekhalifahan Utsmaniyah pada tahun 1913.
Ahmed Mawla Dawood, Kepala Dana Bantuan Utsmani “Ottoman Relief Fund” yang berbasis di Yangon Myanmar, yang sebelumnya dikenal dengan nama Rangoon, telah mengirim sebuah surat kepada Wazir Agung Utsmani untuk mengucapkan selamat kepadanya atas kemenangan tersebut.
“Saya mohon untuk mengkonfirmasi kawat diplomatik saya terkait tanggal yang menegaskan pengiriman dana, setara dengan £ 1,391 pounds …,” kata Dawood dalam suratnya.
“Saya mengambil kesempatan ini untuk mengucapkan selamat kepada Yang Mulia dan anggota kabinet Anda dan semua rekan sekerja Turki saya atas pengalaman mengagumkan dan mengagumkan yang mengundurkan diri dari Adrianopel [today Edirne] dan beberapa wilayah yang hilang dan dengan demikian mengembalikan Prestise Kekaisaran Ottoman , ” tulis surat itu.
Surat ini menandai kemenangan Kekhalifahan Utsmani atas pasukan Bulgaria ketika Utsmani merebut kembali Provinsi Edirne, di wilayah Barat Laut Turki.
“Saya juga memberi tahu Yang Mulia bahwa orang-orang Mussulman [Muslim] bersukacita atas pemulihan wilayah yang hilang dan kesuksesan baru-baru ini dari saudara-saudara Turki mereka,” imbuhnya.
Etnis Paling Teraniaya di Dunia
Menteri mengatakan kantor Biro Luar Negeri Kekhalifahan Utsmani mengucapkan terima kasih kepada Dawood atas kontribusinya.
“Muslim Rakhine, yang telah kami tangani, telah dimobilisasi di masa lalu untuk para syuhada kami, yang terluka dan janda di masa-masa sulit kami,” imbuh Wakil PM Fikri Isik.
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”[IZ]