ASTANA, (Panjimas.com) – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada KTT OKI di Astana, Ahad (10/09), mendesak negara-negara Muslim untuk “menggunakan segala cara yang ada” untuk menghentikan kekejaman brutal yang dilakukan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar.
“Kami ingin bekerja sama dengan pemerintah Myanmar dan Bangladesh untuk mencegah situasi kemanusiaan yang memburuk di kawasan ini,” pungkasnya pada sesi pembukaan pertemuan KTT Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di ibukota Kazakhstan, Astana, dilansir dari Anadolu.
Erdogan menegaskan bahwa Turki telah menawarkan bantuan dan dirinya berharap agar pemerintah Bangladesh mengakui dan membantu Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan di Myanmar.
“Organisasi internasional, dan Kita sebagai negara Muslim pada khususnya, harus berjuang bersama dengan menggunakan segala cara yang ada untuk menghentikan kekejaman itu,” tegasnya.
Erdogan sebelumnya berjanji untuk mengangkat isu Rohingya pada pertemuan tahunan Majelis Umum PBB akhir bulan ini di New York.
Sebuah pernyataan bersama disepakati pada pertemuan puncak KTT OKI Ahad (10/09) – pertemuan puncak pertama KTT tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev mengucapkan terima kasih atas upaya delegasi Turki
Pernyataan OKI
Erdogan menyerukan agar “saudara-saudara di sekeliling meja (delegasi OKI)” untuk mengikuti dan melaksanakan keputusan Astana.
“Pertemuan tersebut mendesak pemerintah Myanmar untuk menerima tim misi pencarian fakta Dewan HAM PBB untuk melakukan investigasi menyeluruh dan independen atas semua dugaan pelanggaran undang-undang hak asasi manusia internasional serta membawa pelaku ke pengadilan,” tulis pernyataan OKI tersebut.
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Bahkan sebuah rencana Kepolisian akhir tahun lalu mengumumkan untuk mempersenjatai dan melatih kekuatan sipil para warga non-Muslim dari Arakan, dan hal ini cenderung meningkatkan ketegangan sektarian.
Kekerasan sangat mempengaruhi Muslim Rohingya. Sekitar 100.000 masih hidup dalam keterbatasan di tempat-tempat kumuh di mana mereka dilarang pergerakannya, dibatasi aksesnya terhadap pendidikan dan kesehatan. Puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dengan perahu, banyak dari mereka meregang nyawa di lautan yang berbahaya.
Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah di Rakhine antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya, menewaskan lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 140.000 Muslim Rohingya mengungsi.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kekerasan terbaru meletus di negara bagian Rakhine, Myanmar, sekitar 2 pekan yang lalu ketika Militer melancarkan operasi brutal terhadap komunitas Rohingya.
Bangladesh, yang telah menjadi tuan rumah bagi sekitar 400.000 pengungsi Rohingya, telah menghadapi gelombang besar masuknya pengungsi baru sejak operasi Militer Myanmar diluncurkan. Pada hari Selasa (12/09), PBB menyebutkan sebanyak 370.000 penduduk Rohingya kini mencari perlindungan di Bangladesh.[IZ]