TUNISIA, (Panjimas.com) – 2 Aksi demonstrasi terpisah diadakan di ibukota Tunisia pada hari Jumat (08/09) pekan lalu untuk memprotes penganiayaan yang terus berlanjut terhadap Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar Barat, dilansir oleh Anadolu.
Aksi demonstrasi pertama, diselenggarakan oleh Gerakan Cinta Kasih Tunisia “Tayar al-Mahaba”, dimana tampak puluhan massa melambaikan spanduk-spanduk mengecam keras kejahatan brutal Militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya.
Para pengunjuk rasa menyalurkan aspirasinya dengan membagikan selebaran-selebaran yang mengecam tindakan brutal pasukan keamanan Myanmar menyusul penganiayaan yang terus berlanjut terhadap minoritas Muslim di negara tersebut.
Salah satu selebaran tersebut menuntut pemerintah Tunisia, bersama dengan “negara-negara sahabat”, untuk turut campur tangan dalam menghentikan penindasan di Myanmar.
Sementara itu, aksi demonstrasi kedua diadakan di sebelah Teater Nasional Tunis, di mana puluhan aktivis yang terkait dengan Gerakan Demokrat Tunisia mengutuk kekejaman yang diderita oleh Muslim Rohingya di tangan rezim Myanmar.
Para demonstran membawa spanduk-spanduk bertuliskan, “Akhiri pertumpahan darah di Myanmar”, “Hentikan pembunuhan umat Islam”, dan “Dunia sedang melihat saat o Muslim dibantai”.
Menurut laporan PBB, 270.000 Muslim Rohingya telah menyeberang ke wilayah Bangladesh sementara puluhan ribu lainnya terpaksa mengungsi akibat kekerasan terakhir tiga pekan lalu, pada tanggal 25 Agustus.
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Bahkan sebuah rencana Kepolisian akhir tahun lalu mengumumkan untuk mempersenjatai dan melatih kekuatan sipil para warga non-Muslim dari Arakan, dan hal ini cenderung meningkatkan ketegangan sektarian.
Kekerasan sangat mempengaruhi Muslim Rohingya. Sekitar 100.000 masih hidup dalam keterbatasan di tempat-tempat kumuh di mana mereka dilarang pergerakannya, dibatasi aksesnya terhadap pendidikan dan kesehatan. Puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dengan perahu, banyak dari mereka meregang nyawa di lautan yang berbahaya.
Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah di Rakhine antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya, menewaskan lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 140.000 Muslim Rohingya mengungsi.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kekerasan terbaru meletus di negara bagian Rakhine, Myanmar, sekitar 2 pekan yang lalu ketika Militer melancarkan operasi brutal terhadap komunitas Rohingya.
Bangladesh, yang telah menjadi tuan rumah bagi sekitar 400.000 pengungsi Rohingya, telah menghadapi gelombang besar masuknya pengungsi baru sejak operasi Militer Myanmar diluncurkan.
Pada hari Jumat (08/09), PBB menyebutkan sebanyak 270.000 penduduk Rohingya kini mencari perlindungan di Bangladesh.[IZ]