SRINAGAR, (Panjimas.com) – Ribuan Muslim Kashmir turun ke jalan berpartisipasi dalam aksi solidaritas dengan komunitas Muslim Rohingya yang dianiaya di Myanmar.
Aksi protes atas kekejaman brutal Militer Myanmar tersebut diadakan di kota tua Srinagar meskipun di sana diberlakukan kebijakan jam malam oleh pemerintah India.
Aksi protes pembantaian Rohingya lainnya juga diadakan di kota Anantnag, Pampore dan Tral di Kashmir Selatan.
Dalam aksi protes di Anantnag, massa bentrok dengan pasukan polisi dan paramiliter India saat mereka meneriakkan slogan-slogan menentang “genosida” Muslim Rohingya oleh pemerintah Myanmar, dilansir oleh Anadolu.
Sedikitnya enam polisi India mengalami luka-luka dalam bentrokan tersebut, sementara massa yang marah membakar sebuah kendaraan polisi India.
Menurut laporan PBB, 270.000 Muslim Rohingya telah menyeberang ke wilayah Bangladesh sementara puluhan ribu lainnya terpaksa mengungsi akibat kekerasan terakhir tiga pekan lalu.
Oktober lalu, setelah serangan terhadap pos perbatasan di Maungdaw, pasukan Militer Myanmar melancarkan tindakan kekejaman brutal selama lima bulan di mana, menurut kelompok Rohingya, sekitar 400 penduduk Rohingya terbunuh.
Muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak pertengahan 2012 setelah kekerasan komunal pecah di Rakhine antara etnis Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya, menewaskan lebih dari 100 orang dan memaksa sekitar 140.000 Muslim Rohingya mengungsi.
Menurut perhitungan lainnya, Kekerasan tahun 2012 tersebut membuat sekitar 57 Muslim dan 31 Buddha tewas, sekitar 100.000 korban lainnya mengungsi di kamp-kamp dan lebih dari 2.500 rumah dihancurkan -. yang sebagian besar milik Muslim Rohingya
Laporan-laporan penargetan disengaja dan pembunuhan tanpa pandang bulu serta penangkapan warga sipil Rohingya, penghancuran rumah-rumah dan bangunan keagamaan, juga pelecehan sesual pada perempuan Rohingya oleh pasukan militer harus diselidiki sepenuhnya oleh masyarakat internasional, karena tindakan-tindakan itu sama saja dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kekerasan terbaru meletus di negara bagian Rakhine, Myanmar, sekitar 2 pekan yang lalu ketika Militer melancarkan operasi brutal terhadap komunitas Rohingya.
Bangladesh, yang telah menjadi tuan rumah bagi sekitar 400.000 pengungsi Rohingya, telah menghadapi gelombang besar masuknya pengungsi baru sejak operasi Militer Myanmar diluncurkan.
Pada hari Jumat (08/09), PBB menyebutkan sebanyak 270.000 penduduk Rohingya kini mencari perlindungan di Bangladesh.
PBB telah mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan – termasuk pembunuhan bayi dan anak kecil – pemukulan brutal, dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh petugas keamanan.
Dalam sebuah laporan, penyidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, tersturktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Bahkan sebuah rencana Kepolisian akhir tahun lalu mengumumkan untuk mempersenjatai dan melatih kekuatan sipil para warga non-Muslim dari Arakan, dan hal ini cenderung meningkatkan ketegangan sektarian.
Kekerasan sangat mempengaruhi Muslim Rohingya. Sekitar 100.000 masih hidup dalam keterbatasan di tempat-tempat kumuh di mana mereka dilarang pergerakannya, dibatasi aksesnya terhadap pendidikan dan kesehatan. Puluhan ribu Rohingya telah melarikan diri dengan perahu, banyak dari mereka meregang nyawa di lautan yang berbahaya.[IZ]