JENEWA, (Panjimas.com) – Seiring dengan peningkatan drastis jumlah pengungsi Rohingya yang menyeberang ke Bangladesh, hal ini mendorong krisis kemanusiaan lanjutan dikarenakan kamp-kamp pengungsian telah jauh melebihi kapasitas daya tampungnya.
Alhasil, para pengungsi Rohingya terpaksa berjongkok di sepanjang jalan dan lahan terbatas di sekitar perbatasan Myanmar-Bangladesh.
Program Pangan Dunia PBB pada hari Jumat (08/09) menungkapkan bahwa pihaknya membutuhkan $14,8 juta dolar untuk memasok persediaan pangan para pengungsi Rohingya yang baru memasuki wilayah Bangladesh, serta sekitar 106.000 pengungsi lainnya yang tinggal di kamp-kamp, seperti dilansir dari Anadolu.
“Kami tetap prihatin dengan melanjutkan laporan warga sipil yang sekarat saat mereka mencoba melarikan diri ke tempat yang aman,” tambahnya.
.”270.000 penduduk [Rohingya] sekarang tiba di Bangladesh untuk mencari keselamatan,” pungkas Dunya Aslam Khan, juru bicara Badan Pengungsi PBB, dalam sebuah konferensi pers di kantor pusat Jenewa.
Aslam Khan mengungkapkan bahwa kamp-kamp pengungsi di Bangladesh menerima jauh diatas kapasitas daya tampungnya. “Pengungsi sekarang berjongkok di tempat-tempat penampungan sementara yang menjamur di sepanjang jalan dan di lahan yang tersedia di daerah Ukhiya dan Teknaf [dekat perbatasan Myanmar].”
Khan menyebut etnis Rohingya yang merupakan “minoritas Muslim tanpa status kewarganegaraan di Myanmar”, telah menghadapi diskriminasi dan kemiskinan selama beberapa dekade.
Juru bicara Badan Pengungsi PBB itu menambahkan bahwa Muslkim Rohingya telah kehilangan hak-hak dasar mereka, termasuk kebebasan untuk bergerak, dan akses untuk mendapatkan pendidikan atau pekerjaan.
“Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar sekarang menjadi pengungsi tanpa kewarganegaraan, membuat mereka kini semakin rentan,” tandas Khan.
Undang-Undang tahun 1982 menolak hak-hak etnis Rohingya – banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi, namun hak kewarganegaraan mereka tak diakui, status mereka stateless [tanpa negara]. Situasi ini juga menghilangkan kebebasan Rohingya bergerak, dari akses pendidikan hingga layanan kesehatan yang sangat minim, bahkan otoritas Myanmar terus melakukan penyitaan sewenang-wenang terhadap properti milik mereka.
Diperkirakan 1,1 juta Muslim Rohingya tinggal di Rakhine, di mana mereka dianiaya, dan menjadi minoritas etnis tanpa negara. Pemerintah Myanmar secara resmi tidak mengakui Rohingya, menyebut mereka imigran Bengali sebagai imigran ilegal, meskipun ketika dilacak akar sejarahnya, etnis Rohingya telah lama hidup dan tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
John McKissick, seorang pejabat Badan pengungsi PBB yang berbasis di Bangladesh, mengatakan etnis Rohingya adalah “minoritas etnis yang paling tertindas di dunia.”
Pelapor khusus HAM PBB di Myanmar, Yanghee Lee, pada Jumat (20/01/2017) mengatakan bahwa pemberontakan bersenjata di negara bagian Rakhine disebabkan karena diskriminasi selama beberapa dekade lamanya yang dilembagakan, terstruktur dan sistematis terhadap Muslim Rohingya.[IZ]