JAKARTA (Panjimas.com) – Forum Jurnalis Muslim (Forjim) kembali terlibat dalam Aksi Kemanusiaan Etnis Rohingya. Di Masjid Sa’id Na’um, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Ahad (10/9/2017) pagi, Ketua Divisi Hubungan Antar Lembaga Forjim, Nuim Hidayat, , M.Si diminta untuk memaparkan fakta dan data terkait Muslim Rohingya di Media Massa.
Tabligh Akbar yang bertajuk “Rohingya Panggilan Jihad Akhir Zaman” itu juga menghadirkan narasumber Ustadz Ziyad Muhammad, Lc (Pembina Hamas Tenabang)dan Ustadz Mukhlis (aktivis gerakan Islam dari Thoriquna).
Dalam penjelasannya, Nuim Hidayat yang juga redaktur wartapilihan.com ini memaparkan pemberitaan di Al Jazeera, dan Time.com dan pandangan Aung San Suu Kyi dan kaum liberal di Indonesia terkait informasi Muslim Rohingya.
Time menulis tentang Ashin Wirathu, tokoh Biksu Budha yang selama ini dikenal sebagai “Kompor” dalam Konflik Rohingya
di Myanmar. “Wajahnya masih tenang dan tenang seperti patung, biksu Budha yang telah diberi nama “orang Burma bin Laden” memulai khotbahnya. Ratusan pemuja duduk di depannya, telapak tangan ditekan, keringat menetes diam di punggung mereka yang lengket.
Saat itu, orang banyak berbincang-bincang dengan pria berjejer berseragam merah anggur itu, mantra-mantra itu
melayang melalui udara yang mengasyikkan dari sebuah kuil di Mandalay, kota terbesar kedua di Burma setelah Rangoon. Sepertinya pemandangan yang damai, tapi pesan Wirathu berderak karena benci. “Sekarang bukan waktunya untuk tenang,” kata pendeta berusia 46 tahun itu.
Sementara dia menghabiskan 90 menit untuk menjelaskan banyak cara di mana dia membenci kaum minoritas Muslim di tanah mayoritas Buddhis ini. “Sekarang saatnya untuk bangkit, membuat darahmu mendidih.”
Demikian pula Aung San Suu Kyi mengatakan, “Dunia Keliru Soal Informasi Krisis Rohingya”. Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi mengungkapkan, ada kekeliruan informasi yang sangat besar mengenai kekerasan di negara bagian Rakhine di Myanmar yang telah memaksa hampir 125 ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Dalam sebuah pernyataan kantornya yang diposkan di laman Facebook-nya, Rabu, peraih Nobel Perdamaian itu mengatakan, ia berbicara dengan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengenai krisis itu, Selasa (5/9).
Pernyataan tersebut menyebutkan, Suu Kyi membahas sejumlah foto yang diunggah di akun Twitter wakil perdana menteri Turki. Foto-foto yang menunjukkan sejumlah Muslim Rohingya yang tewas itu belakangan terbukti tidak ada kaitannya dengan kekerasan yang sekarang terjadi.
Lalu Suu Kyi mengatakan, informasi palsu seperti itu mendorong kepentingan teroris – istilah yang digunakannya untuk menggambarkan kelompok pemberontak Rohinya yang melancarkan serangkaian serangan terhadap pos-pos keamanan sehingga memicu krisis tersebut.
Diberitakan, sedikitnya 400 orang tewas sejak kelompok yang menamkan diri mereka Tentara Pembebasan Arakan Rohingya (ARSA) melancarkan serangkaian serangan terhadap pos-pos polisi di Rakhine, yang menjadi kampung halaman kebanyakan kelompok minoritas Rohingya.
Polisi kemudian membalasnya dengan serangkaian serangan terhadap desa-desa untuk memburu para pemberontak itu.Dalam sebuah tragedi, pihak berwenang di Bangladesh mengatakan, sedikitnya lima orang tenggelam ketika perahu yang mengangkut sekelompok Rohingya terbalik, Rabu pagi, di perairan yang memisahkan kedua negara. [ab/uh]- Voaindonesia.com, 6/9/2017
Aung San Suu Kyi juga menuduh adanya kampanye berita palsu soal Rohingya. Suu Kyi, menyebut foto-foto palsu tentang krisis Rohingya merupakan “puncak gunung es misinformasi yang dibuat untuk menciptakan banyak masalah antara komunitas berbeda dan untuk tujuan mengedepankan kepentingan teroris.”
Meski demikian, Suu Kyi sama sekali tidak menyebut eksodus besar-besaran komunitas Rohingya dari negara bagian Rakhine di Myanmar ke Bangladesh. Lebih lanjut, Suu Kyi mengklaim pihaknya melindungi semua pihak di negara bagian Rakhine. Bbcindonesia.com, 6/9/2017
Sementara itu BBC Indonesia memberitakan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah bertemu dengan Aung San Suu Kyi untuk membicarakan upaya penyelesaian masalah Rohingya.
Dalam pertemuan tersebut, Menlu menyerahkan Formula 4+1, yang isinya: Mengembalikan stabilitas dan keamanan; Menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; Perlindungan kepada semua orang yang berada di negara bagian Rakhine, tanpa memandang suku dan agama;Pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan keamanan.
“Saya hadir di Myanmar membawa amanah masyarakat Indonesia, yang sangat khawatir terhadap krisis kemanusiaan di Rakhine dan agar Indonesia membantu,” jelas Menlu Retno kepada Aung San Suu Kyi, seperti tertulis dalam pernyataan pers Kementerian Luar Negeri Indonesia.
“Empat elemen pertama merupakan elemen utama yang harus segera dilakukan agar krisis kemanusian dan keamanan tidak semakin memburuk,” jelas Menlu RI.
Konflik Agama
Selanjutnya, Nuim Hidayat memaparkan, ada upaya penggiringan opini yang cenderung menyesatkan, dengan sebuah pertanyaan, konflik antara pemerintah Myanmar dengan Rohingnya, apakah benar benar karena murni faktor agama atau karena faktor lainnya?
Dikatakan Nuim, ada sisi agama dalam konflik ini, namun juga ada ketegangan antaretnis dan ekonomi. Komunitas Rakhine merasa terdiskriminasi secara budaya, dieksploitasi secara ekonomi dan terpinggirkan oleh pemerintah pusat yang didominasi oleh etnis Burma.
Dalam situasi ini, etnis Rohingya, oleh orang Rakhine dianggap sebagai pesaing dalam perebutan sumber daya, sehingga menimbulkan ketegangan di negara bagian itu yang kemudian memicu konflik dari dua kelompok etnis tersebut.
Sementara, Dubes Ito Sumardi menilai Indonesia harus tetap menjaga hubungan diplomatik dengan Myanmar demi bisa efektif membantu Rohingya.
Ketika ditanya, apakah konflik Rohingya terkait agama? Dubes Ito mengatakan, bukan agama sama sekali. “Tentu kita juga harus melihat, bagaimana sulitnya seorang peraih Nobel Perdamaian menjadi pemimpin negara dan belum bisa mengendalikan sepenuhnya negara itu. Kan, pihak militer belum menyatu secara penuh dan beda dengan Indonesia.
Menurut laporan Burma Human Rights Network, pemerintah junta militer Myanmar telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Rohingya, di antaranya: tidak mengakui mereka sebagai warga negara, menghancurkan masjid dan melarang mereka memperbaikinya; menyulut siar kebencian anti-Islam; mengurung mereka ke kamp-kamp perkampungan lewat aksi kekerasan; menyebarkan kampanye “perkampungan bebas muslim”; dan melancarkan operasi militer di Negara Bagian Rakhine.
Pasal 2 konvensi menyatakan genosida berarti perbuatan dengan tujuan menghancurkan, baik keseluruhan maupun sebagian, sebuah bangsa, etnis, ras, dan kelompok agama dengan cara membunuh atau membatasi hak-hak dan kebebasan mereka.
Sementara itu, Resolusi DK PBB 2007 yang memutuskan perhatian khusus pada konflik kemanusiaan di Rakhine gagal karena tidak mendapatkan kesepakatan dari seluruh anggota DK PBB. Tercatat dalam rilisan rapat DK PBB bernomor S/PV.5619 pada 12 Januari 2007, Inggris, AS, Perancis, Belgia, Ghana, Italia, Panama, Peru, dan Slovakia menerima resolusi tersebut; Cina dan Rusia memveto; Afrika Selatan menolak; sedangkan Indonesia, Qatar, dan Republik Kongo abstain.
Duta Besar Cina untuk PBB saat itu, Wang Guangya, dalam rapat ke-5619, menyatakan: “Permasalahan di Myanmar merupakan urusan internal dari sebuah negara yang berdaulat. Pemerintah (Myanmar) dan kelompok-kelompok yang berkonflik harus diberi ruang untuk melakukan usaha rekonsiliasinya sendiri.”
Sedangkan Duta Besar Rusia untuk PBB Vitaly Churkin menyatakan, ”Perkara ini lebih baik diurus lembaga PBB lain, seperti World Health Organization (WHO) atau lembaga yang khusus bergerak di bidang HAM. Bukan Dewan Keamanan PBB.”
Mengutip https://www.crisisgroup.org/asia/south-east-asia/myanmar/290-buddhism-and-state-power-myanmar, sejak dimulainya liberalisasi politik pada tahun 2011, Myanmar telah terganggu oleh kebangkitan nasionalisme Buddhis yang ekstrem, pidato kebencian anti-Muslim dan kekerasan komunal yang mematikan, tidak hanya di negara bagian Rakhine tapi juga di seluruh negeri.
Organisasi nasionalis yang paling menonjol adalah Asosiasi untuk Perlindungan Ras dan Agama (biasa disebut dengan akronim bahasa Burma, MaBaTha), terdiri dari biarawan, biarawati dan orang awam. Pemerintah telah memfokuskan upaya yang cukup besar untuk membatasi kelompok ini dan mendorong otoritas Buddhis teratas di Myanmar untuk melarangnya.
Namun upaya ini sebagian besar tidak efektif dalam melemahkan daya tarik narasi dan organisasi nasionalis, dan bahkan mungkin telah menyempurnakannya. Betapapun tidak nyamannya, pemahaman yang lebih bernuansa dari sumber dukungan sosial untuk MaBaTha, yang bertentangan dengan penggambaran satu dimensi sederhana, sangat penting jika mitra internasional pemerintah dan Myanmar menemukan cara yang efektif untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh nasionalisme radikal. dan mengurangi risiko kekerasan.
Akar Masalah: Stateless
Puncaknya terjadi pada 1982 ketika UU Kewarganegaraan Myanmar mengeluarkan Rohingya dan beberapa etnis minoritas lain, seperti Panthay, Ba Shu, dan enam etnis lainnya dari daftar delapan etnis utama dan 135 kelompok etnis kecil lainnya.
Dalam UU itu dinyatakan, seseorang atau kelompok etnis hanya diakui sebagai warga asli Myanmar dan berhak atas status kewarganegaraan hanya jika dapat membuktikan mereka punya nenek moyang yang tinggal dan hidup di wilayah Myamar sejak tahun 1823. Status etnis Rohingya kemudian diturunkan menjadi hanya temporary residents yang menyandang temporary registration cards (Benedict Rogers, 2012).
Produk hukum itu dihasilkan di masa junta militer masih sangat berkuasa. Jauh sebelum UU itu dibuat dan disahkan, Pemerintah Myanmar juga berkali-kali mengeluarkan kebijakan keras terhadap warga Rohingya yang mengarah pada pelanggaran HAM berat dengan tujuan mengusir mereka keluar dari Myanmar. (Kompas.co.id)
Sikap pemerintah yang tidak bersedia memasukkan Rohingya sebagai bagian dari warga negara Myanmar tersebut diyakini menjadi faktor utama berlarut-larutnya persoalan Rohingya. Karena keberadaan mereka tak diakui, warga Rohingya kehilangan banyak hak dasar sebagai warga negara, seperti hak mendapat atau memiliki tempat tinggal, pekerjaan, dan kesejahteraan.
Kehidupan warga Rohingya pun sangat dibatasi. Mereka dilarang menikah tanpa mengantongi izin resmi. Setelah menikah, mereka tidak diperbolehkan punya anak lebih dari dua orang. Mereka juga tidak berhak memiliki paspor.
Dengan status seperti itu, anak-anak Rohingya kehilangan hak dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan. Tak heran, dengan kondisi seperti itu, UNHCR mengategorikan Rohingnya sebagai etnis minoritas paling teraniaya di dunia. Semua itu menunjukkan, konflik yang melibatkan warga etnis Rohingya bukanlah konflik sektarian antaretnis ataupun antar-pemeluk agama tertentu, melainkan kekerasan struktural yang dilegalkan oleh negara.
Terakhir, Pemerintah Myanmar menarik “kartu putih” yang merupakan satu-satunya kartu identitas resmi etnis Rohingya. Kartu putih milik orang-orang Rohingya dinyatakan tidak berlaku sejak 31 Maret 2015.
Kartu putih adalah kartu identitas yang diberikan bagi orang-orang yang tinggal di Myanmar, tetapi tidak mendapatkan status resmi sebagai penduduk, penduduk asosiasi, penduduk netral, atau warga negara asing. Pemegang kartu putih berarti mereka bukanlah warga negara Myanmar atau warga negara asing.
Bersamaan dengan ditariknya kartu putih, orang-orang Rohingya juga kehilangan hak untuk mengikuti pemilihan umum (pemilu). Sesuai referendum yang diselenggarakan pada 2008, pemegang kartu putih mendapatkan hak pilih dalam pemilu. Pembatalan dari Presiden Thein Sein ini menutup kesempatan orang Rohingya untuk berpartisipasi dalam Pemilu Myanmar 2015.
Kartu putih pertama kali diluncurkan pada 1990-an oleh rezim militer sebelumnya. Pada waktu itu, pemerintah mengganti kartu identitas perserikatan Myanmar (union of Myanmar identity card) dengan kartu registrasi nasional (national registration cards). Beberapa etnis yang tidak diakui pemerintah diberikan kartu putih meski sebelumnya mereka memegang kartu identitas perserikatan Myanmar.
Kaum Liberal dan Kasus Rohingya
Tokoh Islam Liberal yang saat ini berada di Amerika, Akhmad Sahal dalam twitternya menulis :”Muslim Rohingya adlh korban nyata penerapan slogan “Minoritas harus tahu diri. Slogan ini ga hanya laku di Myanmar, tp jg di RI. Waspada!!”
Saidiman Ahmad mentweet : “Kejahatan kemanusiaan itu terjadi di Rakhine State, tapi kok sepertinya yang salah adalah pemerintah Indonesia?”
Sedangkan Ketua Umum GP Anshor Yaqut Cholil Qoumas menulis : “GP Anshor mengingatkan, tdk ada yg coba2 mengimpor konflik geopolitik di myanmar tsb dimari. Banser sdh bersedia jd tameng negeri!”
Luthfi Assyaukanie menulis tweet : “Apakah kalau Muslim Rohingya penganut Syiah atau Ahmadiyah mereka masih mau bela?”
Prof Nadirsyah Hosen menyatakan : “Knp kasus Rohingya dipakai utk serang Jokowi & tebar hoax provokasi SARA? Krn yg tereak2 bela Islam, tukang hoax & anti Jokowi satu barisan..”
Sedangkan liberalis Guntur Romli menulis : “ Saya dukung agar Lieus Sungkharisme dr Gema Buddhis dikirim ke Myanmar temui & protes Bikhu Ashin Wirathu, yg setuju RT!”
Jihad Bela Rohingya
Nuim Hidayat mengajak umat Islam dimanapun berada untuk peduli dengan urusan kaum muslimin, dalam hal ini Muslim Rohingya yang ditindas. Nuim juga mengajak umat Islam agar berjihad melawan kezaliman pemerintah dan tentara Myanmar.
Simaklah firman Allah Swt dalam Al Qur’an: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka (dengan Al Quran) dengan jihad yang besar.” (QS al Furqan 52)
“Berjihadlah kamu sekalian dengan harta, lidah dan jiwa.” (HR Muslim). “Barangsiapa yang tidak peduli urusan kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” (HR Thabrani) .
(desastian)