KABUL, (Panjimas.com) – Pemerintah Afghanistan akhirnya turut bergabung dengan berbagai elemen masyarakat internasional untuk mengecam pembantaian Muslim Rohingya di Myanmar.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Afghanistan menegaskan bahwa Republik Islam Afghanistan mengecam dengan pernyataan terkuatnya mengenai pembantaian Muslim Rohingya oleh Militer Myanmar di Rakhine.
“Kementerian Luar Negeri, sangat mengecam keras serangan brutal dan tidak berperikemanusiaan oleh militer negara tersebut [Myanmar] terhadap penduduk Muslimnya.”
“Kemlu Afghanistan menyerukan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan institusi hak asasi manusia di dunia untuk secara serius memperhatikan genosida dan pembantaian Muslim dan orang tertindas di Myanmar ”, tulis pernyataan Kemlu Republik Islam Afghanistan, seperti dikutip dari Anadolu.
Pernyataan Republik Islam Afghanistan ini diumumkan saat ribuan Muslim Rohingya terpaksa melarikan diri dari kekerasan di Myanmar dalam beberapa pekan terakhir.
Sebanyak 87.000 pengungsi Rohingya tiba di Bangladesh sejak pasukan keamanan melancarkan operasi militer brutalnya terhadap komunitas Rohingya di negara tetangga Myanmar pada 25 Agustus, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari Senin (04/09).
Ini memicu masuknya pengungsi baru ke negara tetangga Bangladesh meskipun negara tersebut menutup perbatasannya untuk para pengungsi Rphongya.
Lebih dari 2.600 rumah-rumah Muslim Rohingya telah dibakar di Rakhine di Myanmar Barat pekan lalu, menurut pernyataan pemerintah Sabtu (02/09), dalam salah satu serangan paling mematikan yang melibatkan minoritas Muslim dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Sekitar 58.600 Rohingya telah melarikan diri dari kekerasan menuju ke perbatasan Bangladesh dari Myanmar, demikian menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR, saat para pekerja bantuan kemanusiaan di sana berjuang untuk mengatasi persoalan tersebut.
Serangan mematikan terhadap pos-pos perbatasan di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat, terjadi pada hari Jumat (25/08), mengakibatkan korban sipil massal, menyebabkan lebih dari 100 orang tewas. Kemudian, laporan media muncul mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar dilaporkan telah memindahkan ribuan penduduk desa-desa Muslim Rohingya, bahkan membakar rumah-rumah mereka dengan mortir dan senapan mesin.
Distrik Maungdaw terletak di sepanjang Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh di Rakhine Utara.
Dari hampir 90 korban tewas diantarnya merupakan seorang tentara, 10 petugas polisi, seorang petugas imigrasi dan 77 gerilyawan tewas dalam serangan tersebut dan 15 orang luka-luka, menurut Kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dalam sebuah pernyataan. Dua militan ARSA ditangkap. Dikabarkan bahwa beberapa jembatan telah hancur dalam serangan tersebut dan tiga kendaraan polisi terkena ranjau darat.
Seorang pejabat negara bagian Rakhine mengatakan kepada Anadolu bahwa kebijakan jam malam telah diberlakukan di Distrik Maungdaw, menggantikan jam malam parsial yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Setelah penyelidikan sepanjang tahun mengenai situasi di Rakhine, Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan menyerukan “tindakan mendesak dan berkelanjutan di sejumlah bidang untuk mencegah kekerasan, menjaga perdamaian, menumbuhkan rekonsiliasi dan menawarkan harapan kepada penduduk yang tertindas.”
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober tahun lalu di Maungdaw, wilayah dimana pnduduk Rohingya menjadi mayoritas. Tak lama kemudian, Operasi militer di Maungdaw menyebabkan PBB merilis laporan mengenai pelanggaran-pelangggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Myanmar yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan dan penghilangan brutal. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 penduduk tewas dalam operasi militer tersebut.[IZ]