KARACHI, (Panjimas.com) – Pakistan mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam atas meningkatnya jumlah kematian dan pemindahan paksa Muslim Rohingya baru-baru ini.
Dalam pernyataannya Ahad (03/09), Pakistan menyebut insiden ini sangat memprihatinkan dan memicu kesedihan mendalam di tengah perayaaan Idul Adha saat ini – yang merupakan salah satu dari dua hari raya terpenting umat Muslim.
“Pakistan mendesak pihak berwenang di Myanmar untuk menyelidiki laporan pembantaian [Rohingya], meminta pertanggungjawaban tindakan tersebut, dan Paskiatan menuntut pemerintah Myanmar melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melindungi hak-hak Muslim Rohingya,” pungkas Menteri Luar Negeri Pakistan Khawaja Muhammad Asif dalam sebuah pernyataan, dikutip dari AA.
Sejalan dengan posisi konsisten Pakistan dalam melindungi hak-hak minoritas Muslim di seluruh dunia, Pakistan akan bekerja sama dengan masyarakat internasional – khususnya, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) – untuk mengungkapkan solidaritas dengan Muslim Rohingya dan bekerja keras untuk menjaga hak-hak mereka.
Lebih dari 2.600 rumah Muslim Rohingya telah dibakar di Rakhine di Myanmar Barat pekan lalu, menurut pernyataan pemerintah Sabtu (02/09), dalam salah satu serangan paling mematikan yang melibatkan minoritas Muslim dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Sekitar 58.600 Rohingya telah melarikan diri dari kekerasan menuju ke perbatasan Bangladesh dari Myanmar, demikian menurut Badan Pengungsi PBB, UNHCR, saat para pekerja bantuan kemanusiaan di sana berjuang untuk mengatasi persoalan tersebut.
Serangan mematikan terhadap pos-pos perbatasan di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat, terjadi pada hari Jumat (25/08), mengakibatkan korban sipil massal, menyebabkan lebih dari 100 orang tewas. Kemudian, laporan media muncul mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar dilaporkan telah memindahkan ribuan penduduk desa-desa Muslim Rohingya, bahkan membakar rumah-rumah mereka dengan mortir dan senapan mesin.
Distrik Maungdaw terletak di sepanjang Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh di Rakhine Utara.
Dari hampir 90 korban tewas diantarnya merupakan seorang tentara, 10 petugas polisi, seorang petugas imigrasi dan 77 gerilyawan tewas dalam serangan tersebut dan 15 orang luka-luka, menurut Kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dalam sebuah pernyataan. Dua militan ARSA ditangkap. Dikabarkan bahwa beberapa jembatan telah hancur dalam serangan tersebut dan tiga kendaraan polisi terkena ranjau darat.
Seorang pejabat negara bagian Rakhine mengatakan kepada Anadolu bahwa kebijakan jam malam telah diberlakukan di Distrik Maungdaw, menggantikan jam malam parsial yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Setelah penyelidikan sepanjang tahun mengenai situasi di Rakhine, Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan menyerukan “tindakan mendesak dan berkelanjutan di sejumlah bidang untuk mencegah kekerasan, menjaga perdamaian, menumbuhkan rekonsiliasi dan menawarkan harapan kepada penduduk yang tertindas.”
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober tahun lalu di Maungdaw, wilayah dimana pnduduk Rohingya menjadi mayoritas. Tak lama kemudian, Operasi militer di Maungdaw menyebabkan PBB merilis laporan mengenai pelanggaran-pelangggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Myanmar yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan dan penghilangan brutal. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 penduduk tewas dalam operasi militer tersebut.[IZ]