ANKARA, (Panjimas.com) – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada hari Rabu (30/08) mendesak Sekjen PBB Antonio Guterres untuk memberikan tekanan internasional pada pemerintah Myanmar atas kekerasan di negara bagian Rakhine yang kabarnya telah puluhan ribu penduduk Rohingya terpaksa mengungsi, bahkan membunuhi ribuan Muslim Rohingya.
Sumber-sumber kepresidenan Turki mengatakan Erdogan menghubungiAntonio Guterres melalui sambungan telepon mengenai situasi kemanusiaan di Myanmar.
Erdogan menekankan intervensi mendesak PBB “sangat penting” dan masyarakat internasional harus berupaya menghentikan krisis tersebut, kata sumber kepresidenan Turki.
Pemimpin Turki tersebut juga mengatakan bahwa hal ini “tidak dapat diterima” saat pasukan keamanan Myanmar menyerang Muslim Rohingya yang tidak berdosa atau bahkan menggunakan kekuatan yang tidak proporsional terhadap para warga sipil, dikutip dari AA.
Erdogan menegaskan Turki akan memberikan bantuan kemanusiaan dan siap memberikan bantuan lebih lanjut di Rakhine.
Erdogan menuturkan bahwa Turki terus berhubungan dengan organisasi seperti United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan negara-negara yang relevan seperti A.S., Malaysia, Indonesia, Thailand dan Bangladesh.
Sekjen PBB Antonio Guterres berterima kasih kepada Erdogan atas kepekaannya terhadap masalah Rohingya ini serta memberikan informasi tentang kerja-kerja dan kontak-kontak penting mendesak untuk mengakhiri krisis kemanusiaan di Myanmar.
Erdogan dan Guterres setuju untuk tetap berhubungan dan bekerja sama dalam menyelesaikan krisis Rohingya.
Serangan mematikan terhadap pos-pos perbatasan di negara bagian Rakhine, Myanmar Barat, terjadi pada hari Jumat (25/08), mengakibatkan korban sipil massal, menyebabkan lebih dari 100 orang tewas. Kemudian, laporan media muncul mengatakan bahwa pasukan keamanan Myanmar dilaporkan telah memindahkan ribuan penduduk desa-desa Muslim Rohingya, bahkan membakar rumah-rumah mereka dengan mortir dan senapan mesin.
Distrik Maungdaw terletak di sepanjang Sungai Naf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh di Rakhine Utara.
Dari hampir 90 korban tewas diantarnya merupakan seorang tentara, 10 petugas polisi, seorang petugas imigrasi dan 77 gerilyawan tewas dalam serangan tersebut dan 15 orang luka-luka, menurut Kantor Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dalam sebuah pernyataan. Dua militan ARSA ditangkap. Dikabarkan bahwa beberapa jembatan telah hancur dalam serangan tersebut dan tiga kendaraan polisi terkena ranjau darat.
Seorang pejabat negara bagian Rakhine mengatakan kepada Anadolu bahwa kebijakan jam malam telah diberlakukan di Distrik Maungdaw, menggantikan jam malam parsial yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Setelah penyelidikan sepanjang tahun mengenai situasi di Rakhine, Komisi Penasihat yang dipimpin Kofi Annan menyerukan “tindakan mendesak dan berkelanjutan di sejumlah bidang untuk mencegah kekerasan, menjaga perdamaian, menumbuhkan rekonsiliasi dan menawarkan harapan kepada penduduk yang tertindas.”
Sebuah operasi keamanan yang diluncurkan pada bulan Oktober tahun lalu di Maungdaw, wilayah dimana pnduduk Rohingya menjadi mayoritas. Tak lama kemudian, Operasi militer di Maungdaw menyebabkan PBB merilis laporan mengenai pelanggaran-pelangggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Myanmar yang mengindikasikan kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB mendokumentasikan pemerkosaan kelompok massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak-anak, pemukulan dan penghilangan brutal. Perwakilan Rohingya mengatakan sekitar 400 penduduk tewas dalam operasi militer tersebut.[IZ]